Buku Ultah yang Jadi Bisnis Zaki
Oleh Dahlan Iskan
jpnn.com - Seorang santri berkata pada saya. Dengan penuh sopannya. Dengan suara yang lirih: minta nasihat. Tentang apa yang harus ia lakukan. Setelah tamat dari pondok pesantren nanti.
Hari itu, Rabu lalu, ia ditugaskan menjemput saya. Di Bandara Banyuwangi. Untuk ke Sukorejo. Ke Pondok Bintang Sembilan Salafiyah. Yang Santrinya 17.000. Yang letaknya di timur Situbondo. Yang didirikan kiai terkemuka almaghfiroh KH As’ad Syamsul Arifin.
Pondok itu memiliki juga sekolah formal. Sampai tingkat universitas. Namanya: Universitas Ibrahimy.
Ke universitas itulah saya datang. Diundang oleh mahasiswanya. Yang tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Ibrahimy.
Yang minta nasihat tadi bernama Ahmad Zaki. Kuliah di jurusan informatika. Semester tujuh.
Sebagai orang yang pernah nyantri, saya masih ingat: gaya permintaan nasihat seperti itu adalah ‘kata lain’ dari keinginannya untuk berekspresi. Santri yang bicara seperti itu pada dasarnya tidak benar-benar minta nasihat. Hanya ingin mendapat kesempatan berbicara.
Tapi santri selalu merasa tidak sopan kalau langsung bicara. Santri tidak dibiasakan ini: mengekspresikan apa yang ingin ia katakan sesungguhnya. Itu tidak tawaduk.
Maka saya pun tidak langsung memberi nasihat. Saya justru bertanya pada Zaki. Banyak sekali pertanyaan. Mulai latar belakang keluarganya. Sampai kuliahnya.