Butuh Anak Muda untuk Menggebrak Pertanian Indonesia
Meski minat bertani semakin menurun, masih ada sebagian generasi milenial di Indonesia yang justru meliriknya. Bahkan di saat kehilangan pekerjaan akibat pandemi virus corona.
Seperti yang dialami oleh Maya Skolastika Boleng, petani berusia 35 tahun.
Ia sudah bercita-cita menjadi seorang petani ketika masih kuliah jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Surabaya tahun 2007 lalu.
Semua berawal saat perempuan kelahiran Waiwerang, provinsi Flores Timur ini sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yoga di Bali.
Maya, yang saat itu baru berusia 22 tahun, tidak menyangka malah menemukan "panggilan" di bidang yang sempat tidak 'dipandang' oleh keluarganya.
Ia mengaku jika ia bertanya pada dirinya sendiri "apakah kehadiranmu di dunia ini sudah memberikan dampak positif atau hal yang baik bagi lingkungan sekitarmu? Atau kehadiranmu di dunia ini justru memberi beban?"
"Itulah momen yang membuat saya berpikir untuk melakukan pertanian organik, karena memang Bali terkenal dengan filosofi pertanian organik itu sendiri."
Berbekal ambisi menolong para petani di sekitarnya, di tahun 2008, Maya bersama keempat temannya menyewa sebuah lahan berukuran setengah hektar.
Meski minat bertani semakin menurun, masih ada sebagian generasi milenial di Indonesia yang justru meliriknya
- Melalui MSPP, Kementan Menjabarkan Strategi Pemasaran Komoditas Hortikultura Era Digital
- Dunia Hari Ini: Setidaknya 10 ribu orang Tedampak Letusan Gunung Lewotobi Laki-laki
- Pendidikan dan Pengalaman Kerja Migran, Termasuk Asal Indonesia, Belum Tentu Diakui Australia
- Kementan Beri Pendampingan dan Penerapan Mekanisme ke Petani di Merauke
- PNM dan PIP Dorong Petani Perempuan Terampil Finansial
- Pemilik Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia Minta Lebih Diperhatikan