Bye-Bye 380

Oleh: Dahlan Iskan

Bye-Bye 380
Dahlan Iskan. Foto: disway.id

Pesawat 380 memang terlalu besar. Akhirnya bisa dibilang tidak sukses. Kenyataan jauh dari asumsi awal. Sampai sekarang hanya diproduksi 251 pesawat A380 –itu pun yang separonya (123) milik Emirates.

Padahal, ketika direncanakan dulu, setidaknya akan ada order 1.200 pesawat. Dalam 20 tahun.

Tahun ini A380 genap 20 tahun. Kenyataannya begitu jauh meleset. Jumlah order tidak sampai 300 pesawat. Maka produksi A380 dihentikan. Yang sudah terjual dijamin pemeliharaannya sampai paling tidak tahun 2035.

Memang A380 benar-benar bisa mengalahkan Boeing 747. Khususnya dalam hal efisiensi. Sama-sama bermesin empat biaya per kursinya lebih hemat 12 persen.

Kenyataannya order A380 tidak sampai separo dari Boeing 747. Penyebabnya: A380 ini ternyata hanya cocok untuk jurusan kota besar ke kota besar. Point to point.
Padahal banyak penerbangan memerlukan jalur transit. Misalnya London-Beijing-Hangzhou. London-Beijing bisa dengan A380. Tapi rute sambungannya tidak bisa pakai A380 –bandaranya tidak memenuhi syarat.

Dulu, waktu A380 direncanakan, diperkirakan akan banyak bandara yang melakukan up grading. Ternyata tidak.

Justru sepuluh tahun terakhir muncul pesawat baling-baling yang bisa untuk 70 penumpang: ATR, buatan Prancis. Larisnya bukan main. Mereka inilah yang justru sukses besar.

Maka A380 dinyatakan gagal –secara komersial. Padahal secara ekonomis dan teknologi dinyatakan unggul. Apalagi muncul pandemi. Jangankan order baru. Order lama pun dibatalkan. Emirates yang sudah order sebanyak 167 pesawat, membatalkan sebagian: tinggal 132 pesawat.

Covid-19 tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga membunuh kebanggaan teknologi, bye-bye.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News