Cahaya Mobil Listrik dari Sosok Nur
Oleh: Dahlan Iskan
Siang malam mereka berada di lab dan bengkel. ITS memang menyiapkan gedung dan peralatan. Kunci gedungnya mereka yang pegang. Bisa buka-tutup hari apa saja, jam berapa saja. Rasanya bahkan tidak pernah tutup. Saya pernah hari Minggu ke sana. Eh, buka juga.
Hebatnya, Dr Nur hampir selalu berada bersama anggota tim. Sudah tidak bisa dibedakan mana mahasiswa dan mana dosen. Pakaiannya maupun sikapnya. Pekerjaannya maupun belepotannya.
Dr Nur sudah seperti teman bagi mahasiswa. Dosen sekaligus teman. Bapak sekaligus anak. Kakak sekaligus adik. Kesimpulan saya, inilah kunci keberhasilan tim kendaraan listrik ITS.
Suatu saat, Dr Nur diminta menyertai mahasiswa yang ikut lomba mobil listrik dengan tenaga surya. Rutenya maut: Darwin–Adelaide (Australia). Jaraknya 3.300 km. Waktu tempuh: lima hari.
Di situ Dr Nur diperlakukan seperti mahasiswa anggota tim. Juga tidur di pinggir jalan. Juga makan seadanya.
Dan Dr Nur bisa menikmati kehidupan yang seperti itu. Istrinya juga bisa menerima gaya seperti itu. Pastilah sang istri juga wanita hebat.
Maka dia enteng saja ketika saya tanya: Kapan jadi guru besar? ’’Saya belum pernah mikir,’’ katanya. Bagaimana mau mikir jadi profesor. Setiap mau menulis (karya ilmiah) diajak mahasiswa ke bengkel. Siang malam. Tapi, Dr Nur merasa puas dengan perannya seperti itu. Dia memperoleh kebahagiaan.
Memang, dia tahu tunjangan gaji profesor cukup menggiurkan. Dapat tambahan penghasilan Rp 25 juta sebulan. Tapi, dia tidak mau menjadi profesor dengan motif seperti itu.