Calon yang Punya Hubungan Keluarga dengan Petahana Ternyata Lebih Banyak Kalah
jpnn.com - JPNN.com JAKARTA --Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ke V untuk perkara uji materi UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan s. Sidang ini digelar atas gugatan yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, Lanosin ST dan Dr Ali Nurdin, Selasa (16/6).
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan pemohon. Mereka yang dihadirkan adalah adalah Dr. M. Rifqinizamy Karsayuda, SH., LLM, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, Alumni Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Nico Harjanto, Ph.D., Dosen Pascasarjana Paramadina, Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI), Direktur Eksekutif POPULI CENTER, dan Alumni Northern Illinois University, USA.
Kepada wartawan, Rifqinizamy menyoroti dan mengangkat persoalan hukum dan konstitusionalitas Pasal 7 huruf r yang dinilai ada kesalahan subjek. Alasannya, pembebanan hak dan kewajiban (rechten en plichten) dalam Pasal yang diuji adalah salah.
“Harusnya yang diberikan kewajiban adalah petahana, bukan calon, apalagi keluarga petahana, yang tidak memiliki hubungan hukum apapun,” katanya.
Rifqinizamy menjelaskan, dari hasil data Pilkada selama periode 2010-2013, Calon yang memiliki hubungan dengan petahana yang maju dalam Pilkada hanya sedikit yang menang, sekitar 42%, mayoritas kalah (58%).
“Jadi kemenangan dalam Pilkada tidak ditentukan semata-mata oleh adanya hubungan dengan Petahana, namun oleh banyak faktor,” tegasnya.
Sementara saksi ahli menyatakan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 butir 14, Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut, pengaturan tentang konflik kepentingan adalah dalam konteks pembatasan kewenangan kepada seseorang yang memegang jabatan atau kekuasaan agar dalam menggunakan wewenangnya dalam mengambil keputusan didasari oleh netralitas dan tidak menguntungkan dirinya pribadi, orang-orang yang ada hubungan kerabat, yang mendapat gaji, dan pihak lain sebagaimana dijabarkan dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tersebut di atas.
Selain itu, bahwa sumber penyebab konflik kepentingan bukan hanya karena faktor hubungan afiliasi penyelenggara negara dengan pihak tertentu, baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan yang dapat mempengaruhi keputusannya, tetapi juga ada faktor lain, yaitu perangkapan jabatan, gratifikasi, kelemahan sistem organisasi, dan kepentingan pribadi (vested interest).
Untuk itu, dengan mendasarkan pada argumentasi tersebut diatas, maka penggunaan norma “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” yang selanjutnya dijabarkan dalam penjelasan Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 yang disebabkan karena adanya hubungan darah dan hubungan perkawinan sebagai persyaratan calon menjadi tidak tepat adanya, dan terkesan bersifat tendensius dalam mengatur pembatasan hak warga negara yang seharusnya tidak dapat dilakukan oleh karena akan bertentangan dengan prinsip jaminan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Negara harus memberikan perlindungan terhadap hak warga negara bukan justru melakukan pembatasan dengan menggunakan dalih akan membahayakan proses demokratisasi dan adanya relasi yang tidak seimbang dalam proses pemilukada yang demokratis.
JPNN.com JAKARTA --Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ke V untuk perkara uji materi UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan s. Sidang
- Ini Upaya Propan Raya dan LPJK dalam Perlindungan Gedung dari Kebakaran
- Mendikdasmen Beri Sinyal Ada Regulasi Baru Penempatan Guru PPPK, Hamdalah
- Hari Ini Pendaftaran PPPK 2024 Tahap 2, Honorer Jangan Nekat Bertindak Konyol
- BMKG Ungkap Prakiraan Cuaca Hari Ini, Ada Hujan di Sejumlah Wilayah
- Seorang Nelayan Asal Pandeglang Tewas Tersambar Petir Saat Melaut, Tim SAR Bergerak
- 5 Berita Terpopuler: Pendaftaran PPPK 2024 Tahap 2 Dimulai, Honorer Titipan Mencuat, Ternyata Ada Kejutan yang Muncul