Cegah Stunting dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
Oleh: Agustina Doren, S.SIT
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.
Prevalensi balita pendek selanjutnya diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah. Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program.
Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%.
Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusui dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.
Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh higiene dan sanitasi yang buruk (misalnya diare dan kecacingan) dapat menganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan. Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan berat badan bayi turun. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu yang cukup lama dan tidak disertai dengan pemberian asupan yang cukup untuk proses penyembuhan maka dapat mengakibatkan stunting.
Asupan gizi yang optimal untuk pencegahan stunting dapat dilakukan dengan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi yang didasari oleh komitmen negara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar sehat, cerdas dan produktif.
- PKN Membantu Pemerintah untuk Mengentaskan Masalah Stunting
- Kaltim Andalkan Data Presisi Geospasial untuk Pembangunan
- Polres Inhu Menanam Cabai Dukung Program Asta Cita terkait Ketahanan Pangan
- Tekan Stunting, Pemkot Palembang Luncurkan Dapur Sehat
- Gandeng UNSIKA, Peruri Perkuat Program Penurunan Stunting di Karawang
- Mendes Yandri Pastikan Desa Bakal Berpartisipasi Menyukseskan Program Makan Bergizi