Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan

Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Fenomena itu, jangan-jangan adalah pilihan yang cerdas, walau belum tentu mencerdaskan. Kampanye model begitulah yang justru digemari rakyat. Sekedar membikin ramai arena kampanye, memang berhasil. Tetapi apakah telah mencerdaskan kesadaran politik rakyat sebagai tujuan yang substansial, agaknya masih jauh panggang dari api.

Mirip dengan panggung bioskop, orang pun lebih banyak yang menyukai film sejenis, maaf, yang mempertontonkan “paha-dada” daripada film sejenis “Daun di Atas Bantal” karya Garin Nugroho bertahun-tahun lalu.

Polarisasi gaya kampanye itu, mau tak mau menunjukkan kekurang-seriusan terhadap hal-hal yang ideal, substansial dan besar, misalnya tentang cita-cita sebuah bangsa. Publik lebih tertarik jika yang dibicarakan adalah soal-soal mikro, misalnya tentang kebutuhan bahan pokok, dan bahkan yang lebih instan seperti nasi bungkus dan dana transpor.

                                       ***

Kampanye Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru masih menyisakan gaya yang bermutu. Pelbagai politikus yang pada masa Jepang dan revolusi pisik sudah terlibat dengan pergerakan bangsa, masih turun ke panggung kampanye. Mereka adalah generasi ketiga setelah Bung Karno dan Bung Hatta, wakil generasi kedua. Generasi pertama adalah yang seangkatan dengan pendiri Budi Oetomo, Muhamamdiyah, seperti KH Agus Salim, HOS Tjokroaminoto hingga KH Ahmad Dahlan.

Kampanye PEMILU 2009 yang dimobilisasi, dan bukan partisipasi, sebentar lagi tinggal kenangan. Tidak ada lagi arus lalulintas yang macet dan menjengkelkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News