Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Jumat, 03 April 2009 – 21:20 WIB
Jika pun berbeda pendapat, seperti di BPUPKI dan PPKI, misalnya tentang dasar negara, apakah berdasarkan Islam atau nasional, sangat melukiskan betapa bermutunya pemimpin saat itu. Beda pendapat selalu dengan argumentasi yang rasional. Usai berdebat sampai ke ubun-ubun, toh masih bisa sama makan siang seraya bersenda gurau penuh keakraban.
***
Toh Pemilu 1955 bukannya tanpa cela. Pemilu yang mengantarkan Indonesia ke era demokrasi dan kabinet parlementer itu mengakibatkan kabinet jatuh bangun. Euforia bangkit bersama KKN yang dilukiskan Mochtar Lubis dalam novel Senja di Jakarta. Bung Karno menyudahi segalanya dengan Dekrit 5 Juli 1959. Konstituante dibubarkan, berikut Masyumi dan PSI. Indonesia masuk ke era Demokrasi Terpimpin, jika tak dikatakan diktator.
Orde Baru muncul mengoreksi Orde Lama. Panglima tak lagi politik, tapi ekonomi yang disuarakan Golkar. Semenjak itu materi menjadi tema, dan orang pun berlomba-lomba, bahkan memunculkan konglomerasi yang memang dibangun rezim Orde Baru. Pertumbuhan bagus, walau jurang kaya miskin pun menganga lebar. Pembangunan ditopang utang luar negeri, bahkan tak bisa menyangga krisis ekonomi 1997-1998, dan Orde Baru pun ribuh bagaikan istana pasir.