Cerdas Tapi Tidak Mencerdaskan
Jumat, 03 April 2009 – 21:20 WIB
Transisi tiba. Ternyata dalam kampanye sejak 1999 hingga 2009, kesadaran akan demokrasi politik dan ekonomi yang strategis tapi butuh waktu dan proses tak menarik hati publik. Yang dipuja adalah proses yang instan, yang serta merta mengubah nasib, dan inilah yang menggejala dalam perpolitikan Tanah Air. Bahkan sampai ada anggota DPR yang konon mencari dana kampanye dengan cara korupsi.
Barangkali, ini adalah potret zaman. Mungkin, sekaligus menyatatkan “pekerjaan rumah” pemimpin terpilih pada Pemilu dan Pilpres 2009. Tampaknya harus dipriotaskan sektor pendidikan yang menyahuti masalah bangsa. Terpenting adalah pendidikan perekonomian yang berfilosofi berdiri di atas kaki sendiri.
Perekonomian mestilah didasari demokratisasi ekonomi dan politik. Bukan semata mengejar pertumbuhan, tetapi justru dikuasai oleh modal asing. Tetapi perekonomian yang dikuasai oleh anak bangsa sendiri. Sekedar ilustrasi, BUMN kita nyaris 100% berasal dari nasionalisasi perusahaan asing di awal kemerdekaan dan pada 1950-an. Kok, malah diprivatisasi dan sebagian sahamnya menjadi milik asing?
Hanya dengan perekonomian yang mandiri Indonesia lebih mungkin memakmurkan rakyat ketimbang tergantung kepada modal asing. Pencapaian pendapatan perkapita US$ 5000, dan sekarang baru sekitar US$ 2000, hanya dimungkinkan dengan perekonomian yang demokratis terhadap bangsa sendiri dan bukannya kepada modal asing.