Cerita Para Penjaga Hutan di Pulau Terpencil Wakatobi

Cerita Para Penjaga Hutan di Pulau Terpencil Wakatobi
Para penjaga pulau terluar Wakatobi, Sulawesi Tenggara. FOTO: guslan gumilang/JAWA POS

Segera setelah itu kami menata pondok dengan bantuan senter. Lilin dinyalakan. Elfie (satu-satunya perempuan di tim tersebut) segera memasak air panas dan membuatkan kami minuman hangat. La Engka dan Hendro sigap mencantolkan handphone (HP) mereka di atas tiang kayu. Lokasi tersebut rupanya jadi spot sinyal operator lewat. "Cuma di sini sinyal suka ada. Di posisi lain tidak ada," kata La Engka. 

Tapi, hanya HP jadul yang bisa menangkap sinyal. Ponsel pintar sudah mati kutu. No service. Spot itu jadi favorit karena bisa membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga di rumah. Meski cuma SMS-an. "Tapi ya harus sabar. Sinyalnya nggak setiap saat mampir," tutur La Engka.

Tengah malam, Udin, Hasbullah, Hendro, Ferry, Jaya, dan Jawa Pos menyusuri pantai. Kami mulai memeriksa apakah ada penyu yang naik. Untung, suasana sedikit "meriah" berkat lantunan lagu JKT48 Hissatsu Teleport. Jadi tidak terlalu hening. "Ini terhitung ramai karena kita ada sebelas orang di sini. Biasanya lebih sedikit," ucap Udin. Saya lalu membayangkan, hanya sedikit orang, di pulau yang kalau malam gelap gulita, berhari-hari, ah... seram juga. 

Malam itu kami menemukan lima jejak penyu yang lebarnya bervariasi, 75-110 cm. Empat di antaranya bertelur. "Tapi, ini bukan jejak baru. Mungkin dua atau tiga hari lalu penyu itu naik ke sini," terang Hendro. 

Yang lebih mengkhawatirkan sebetulnya bertugas saat ombak besar. "Kalau sudah musim gelombang, ngeri," ungkap Hasbullah. Mereka pernah terdampar di pulau, tak bisa kembali ke rumah, karena gelombang terlalu besar. Ketika itu tim dibagi menjadi dua. Ada yang di Anano dan ada yang di Kentiole. Rencana yang dibuat, setelah menyelesaikan pekerjaan, pada hari yang ditentukan tim Anano menjemput tim Kentiole. Lalu bersama-sama kembali ke Tomia.

Namun, ternyata badai melanda. Angin dan gelombang menerjang. Tim Anano tidak berhasil mencapai Kentiole. "Terlalu besar gelombangnya. Kapal pun kembali ke Anano," ujar Hasbullah. Yang di Kentiole pun menanti tanpa kepastian. Pada hari yang ditentukan, mereka tidak dijemput juga. "Mau menghubungi juga tidak bisa. Kan tidak ada sinyal," lanjutnya. 

Bukan hanya antar-anggota tim yang khawatir. Keluarga di rumah juga bingung. Sebab, mereka tidak kunjung pulang, padahal sudah lebih dari waktu yang ditentukan. Wajar keluarga berpikir sesuatu terjadi pada para pegawai BTNW itu. Apalagi melihat kondisi laut yang tidak tenang. "Keluarga bahkan sudah minta bantuan untuk mencari kami. Mereka mau menyewa kapal. Tapi, sama saja, tidak ada kapal yang berani melaut," cerita Udin. 

Kondisi seperti itu bisa saja mereka hadapi lagi ke depan. Sebab, memang wilayah kerja mereka "istimewa". Bukan daratan, melainkan lautan. Meski begitu, mereka tetap tulus menjalankan tugas dan kewajiban. Menjaga wilayah-wilayah terpencil di Indonesia itu agar tetap lestari. (JANESTI PRIYANDINI/c9/nw) 


MATAHARI di Pelabuhan Waha, Tomia, siang itu (7/11) begitu terik. Panasnya terasa seperti membakar kulit. Tapi, setidaknya itu pertanda baik untuk


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News