Cermin dari De Soto dan Yunus (1)
Sabtu, 30 Januari 2010 – 04:52 WIB
Fakta menunjukkan ternyata AS juga unggul di industri pertanian dengan cost yang irit dalam skala besar, yang dipasarkan pula secara global. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global akhirnya dimasuki oleh impor beras dan kedele dari AS. Logis belaka, kita kalah bersaing.
Jadi meskipun stok pangan kita cukup, dan mungkin terjangkau oleh masyarakat, tetapi petani kita tetap saja miskin. Soalnya, harga yang diterima petani jauh lebih rendah dibanding yang dibayar konsumen di pasar.
Barangkali, itu sebabnya dirasa perlu membantu petani dengan berbagai kredit. Mungkin, mirip kredit Bimas-Inmas di masa Orde Baru. Sampai ada pameo, bahwa Bimas adalah singkatan dari, maaf, "Biar Mati Asal Stan". Dilanjutkan dengan KUT, dan ada juga pameonya, kaut-mengkaut.
Hasilnya, mengecewakan. Banyak kredit macet, baik karena puso dilanda hawa wereng, maupun karena tidak bankable. Tak lagi rahasia kala itu, ada motivasi politik pemenangan sebuah partai, sehingga sasaran kredit melenceng.