Cermin dari De Soto dan Yunus (2)
Selasa, 02 Februari 2010 – 02:57 WIB
Kita terperanjat ketika Yunus memutuskan berhenti sebagai dekan, serta memilih belajar kepada orang-orang miskin di Jobra, sebuah desa miskin. Ia menyamar seraya mengenali persoalan orang miskin, langsung dari sumber pertama. Pada suatu hari, Yunus berang besar kepada seorang manajer bank yang meminta agunan kepada seorang miskin yang memohon kredit. Tentu saja, tidak ada!
Baca Juga:
Si miskin yang bekerja nyaris lebih 12 jam sehari hanya punya agunan berupa nyawanya. Jika diberi kredit, pasti ia berjuang mengembalikannya agar bisa hidup terus. Jika ia dikucuri kredit, pastilah ia tak menggunakannya secara menyimpang, misalnya memboroskan kredit itu untuk kebutuhan yang tidak perlu.
Dari situlah, kemudian Yunus mendirikan lembaga finansial bagi kaum miskin yang beralih menjadi Grameen Bank. Sejak itu, orang miskin bertelanjang kaki pun masuk ke bank. Mereka berhutang, memutarkan uang, bisa hidup dan membayarnya kembali ke bank. Belakangan, 93 persen dari pemilik saham bank itu adalah mantan orang miskin yang dibela oleh Yunus.
Apa resep Yunus bagi Indonesia? Ia menawarkan dekonstruksi. Yakni, diperlukannya regulasi yang memperluas sistem keuangan sehingga dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Artinya, sistem itu sampai kepada orang miskin. Sifatnya pun inklusif, terbuka, sehingga tidak ada orang yang ditolak untuk mendapatkan pelayanan kredit, termasuk orang miskin.