Civil Society Unjuk Gigi
Jumat, 16 Juli 2010 – 17:47 WIB
Kemudian, itu tadi: Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-) kemudian memperkuatnya dengan konsep "a free public sphere". Bahwa masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Senada pula dengan Ernest Gellner (1925-1995) bahwa ruang publik adalah jalan menuju demokratisasi modern.
Sesungguhnya, terminologi civil society selalu bermetamorfosis selaras dengan kehendak zaman. Jika diurumuskan, maka civil society punya tiga ciri. Yakni adanya kemandirian individu dan kelompok masyarakat saat berhadapan dengan negara, adanya ruang publik bebas sebagai ekspresi politik warga negara, dan adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.
Nah, inilah pembuktiannya. Kasus tabung gas sudah ditinjau. Kita masih menunggu masalah kenaikan TDL yang membuat berbagai harga bahan pokok membubung dan menyusahkan masyarakat itu. Bahkan, masyarakat industri berancang-ancang akan melakukan PHK, jika kebijakan tersebut tak ditinjau. Maklum, semula dijanjikan kenaikannya hanya maksimal 15 persen, eh, ini ada yang melejit hingga 40 persen, 50 persen, dan bahkan ada yang 80 persen.
DPR pun masih slow but not sure. Kita pun teringat teori hegemoninya Gramsci, bahwa DPR sebagai jelmaan suara rakyat alias demokrasi, belum bergerak untuk meralat kebijakan itu. Seolah-olah DPR merupakan bagian dari pemerintah dan melupakan bahwa "jembatan" mereka menuju gedung DPR di Senayan, Jakarta, adalah masyarakat sipil.