Crass! Darah Muncrat ke Dinding Gua

Crass! Darah Muncrat ke Dinding Gua
Foto: Manado Post/JPG

Lebar lorong hanya sekira dua meter saja. Ada enam pintu. Dari pintu utama di mulut gua, hanya sekira 20 meter akan ditemui persimpangan. Ke kanan menuju kamar-kamar tempat persembunyian para tentara. Ke kiri, menuju kamar pembantaian.

60 tahun lalu, para budak yang sudah tidak produktif pasti menuju ke bagian gua ini. Para budak yang tak mampu lagi menggali, mengakhiri nyawa di situ. Di dalam kegelapan, samurai Jepang melibas.

Crass! Kepala terpenggal. Darah mengucur. Sesudahnya, bagian-bagian tubuh dibiarkan saja di dalam ruangan itu. Bercampur dengan darah. Sadis dan biadab.

Sejarahwan Freddy Wowor mengatakan, warga sudah tahu hidup mereka menuju maut saat menjadi budak Jepang.

“Karena tidak mungkin juga tentara Jepang akan membiarkan budak tetap hidup. Mereka kan sudah tahu tempat persembunyian Jepang. Takutnya dibocorkan ke musuh,” jelasnya.

Sejarahnya, sejak tahun 1939, Jepang punya ambisi menguasai Asia Pasifik. Maka, disebarlah para pengintai. Tahun 1942, di Indonesia, Jepang menemukan lokasi tepat dijadikan honbu. Digalilah gua-gua. Karena letaknya di bibir pasifik, tak heran Jepang memilih Sulawesi Utara sebagai honbu

Sedangkan di sisi kanan gua, terdapat delapan kamar berukuran lebih kecil dari kamar pembantaian. Hanya berukuran 2×2 meter. Itu ruangan khusus bagi tentara Jepang. Gua ini rupanya sudah kerap didatangi warga. Ini terlihat dari sampah-sampah yang kebanyakan botol minuman, berserakan di lorong-lorong gua.

Agak angker berada di dalam gua. Sulit menyusuri lorong bila tanpa bantuan senter atau lampu. Kini, gua ini menjadi honbu-nya burung. Sesekali, terdapat walet yang terbang. Di bagian atas gua, masih bisa dijumpai kelelawar yang bergantungan.

SECARA fisik tidak ada yang istimewa. Namun, gua ini punya nilai historis yang patut dikenang para generasi bangsa. Gua ini merupakan saksi kekejian

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News