Critical Parah

Oleh: Dahlan Iskan

Critical Parah
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Saya pun cari tempat duduk. Sebenarnya tidak mencari. Semua kursi di ruang tunggu itu kosong. Tiba-tiba saya ingat sesuatu: lapar.

Saya juga ingat: masih ada singkong rebus di tas kresek saya. Di bawah buku tebal berjudul American People pemberian Daeng Saleh Mude.

Singkong itu saya rebus waktu di New York. Di rumah James Sundah. Lia, istrinya, tahu: saya harus makan singkong tiap hari. Dia bisa beli singkong yang belum dikupas di New York.

Saya kupas singkong itu. Saya potong-potong. Saya rebus. Agak banyak. Untuk tiga hari. Sebagian saya bawa.

Separuhnya untuk dimakan di New Haven. Separuhnya lagi saya panasi di New Haven. Untuk dimakan di Hartford.

Lia juga sudah menelepon Chicago agar Monchie, istri Stevanus Nugroho, menyediakan singkong di rumahnya.

Waktu pertama tiba di Amerika, saya ajak Ari Sufiati sama-sama mencari singkong di supermarket dekat San Jose. Tidak ketemu. Berarti harus ke supermarketnya orang Meksiko. Tidak ketemu.

Ari tidak menyerah. Dia tahu "singkong" itu dalam bahasa Spanyol disebut "yuka". Begitu dibilang "yuka" langsung ketemu di mana tempatnya.

Saya WA dia. Saya pun minta maaf. Ini kesalahan saya. Terlalu lama di Wesleyan University. Juga mengapa tidak check in online.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News