Cyber Diplomacy: Menjaga Negara via Dunia Maya

Oleh Prof. Dr. Kamaluddin, M.Pd*

Cyber Diplomacy: Menjaga Negara via Dunia Maya
Prof. Dr. Kamaluddin, M.Pd. Foto: dokumentasi pribadi

Belakangan kita tahu bahwa sebagian propaganda tersebut ternyata bohong. Dalam masalah Irak, tidak pernah ada senjata pemusnah massal yang ditemukan, meski hal itu menjadi alasan serangan.

Indonesia juga menghadapi serangan cyber diplomacy pada kasus yang dikenal sebagai Bali Nine pada 2005. Bali Nine adalah komplotan penyelundup narkoba yang semua anggotanya warga negara Australia.

Dua anggota Bali Nine yang dijatuhi hukuman mati -Andrew Chan dan Myuran Sukumaran- telah dieksekusi pada 2015. Setelah keduanya dieksekusi, Australia melancarkan diplomasi digital untuk menyelamatkan warganya yang terlibat Bali Nine.

Setelah lobi resmi gagal, Canberra akhirnya menggunakan diplomasi elektronik melalui media. Langkah yang dilakukan, antara lain, pemerintah dan warga Australia mengancam memboikot pariwisata di Bali jika eksekusi mati tetap dilakukan.

Menlu Australia saat itu, Julia Bishop, dan Senator Independen Jacqui Lambiea mengancam akan memberhentikan bantuan internasional kepada Indonesia jika Renae Lawrence tetap dieksekusi mati.

Hasilnya? Hukuman mati untuk Lawrence dibatalkan oleh pengadilan. Vonisnya diringankan menjadi penjara hingga 2026.

Pada 2018, Lawrence menghirup udara bebas lebih cepat setelah mendapatkan pemotongan masa hukuman. Sulit untuk tidak mengatakan Lawrence juga dibantu oleh cyber diplomacy yang terus menekan Indonesia.

Melawan Penyesatan
Ada dua isu strategis terkait hal tersebut. Pertama ialah melawan penetrasi opini Papua Merdeka yang disiapkan oleh gerakan separatis di luar negeri.

Netizen Indonesia yang dikenal solid (meski terkadang tidak sopan) harus dioptimalkan menjadi cyber army yang kuat untuk mewarnai opini global.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News