Opor Bandara
Oleh: Dahlan Iskan
Di Randublatung saya harus memberikan pandangan: madrasah Pesantren Sabilil Muttaqin ini harus berkembang membangun perguruan tinggi atau berkembang membangun madrasah internasional. Meskipun pembina, saya hanya memberikan pilihan-pilihan.
Terserah saja mau diputuskan yang mana. Alifa Nur Fitri, pimpinan madrasah di Randublatung itu, saya nilai sangat mampu membuat keputusan terbaik untuk daerah miskin itu.
Dari Randublatung saya menuju Blora: ke rumah Pramoedya Ananta Toer.
"Lho, ke sini lagi," sapa Soesilo Toer. Ia masih sangat sehat. Pendengaran dan penglihatannya masih sangat baik: umurnya 85 tahun.
Ia masih terus menerbitkan buku baru. Juga masih bisa bercanda: "Saya ini sudah memenangi nobel," katanya. "Pramoedya kan baru diusulkan. Saya sudah mendapatkannya. Sekaligus tiga nobel," tambahnya.
Yang dimaksud nobel oleh Soes ternyata noni Belanda. Bukan berarti Soes pernah mendapatkan tiga nona Belanda sekaligus. Tiga nobel yang ia maksud adalah: nona Belanda, nona Belgia, dan nona Belarusia.
Soesilo Tour, adik Pram, memang lama di Rusia. Sampai mendapat gelar S-3. Selama di sana juga keliling Eropa. Ia baru pulang ke Indonesia tahun 1973 –langsung ditangkap.
Dari Blora saya ke Rembang. Lewat hutan jati lagi. Namun, sang bupati masih harus promosi satu kuliner lainnya: sate kambing Daman. Dekat Alun-Alun Blora. Ampun-ampun larisnya. Satu hari sampai memotong empat kambing. Ada juga sate ayam: 40 ekor ayam sehari.