Dakwah bil Hal: Korporatisasi Usaha Individu Umat Menuju Indonesia Maju
Selasa, 09 Juli 2013 – 04:48 WIB
Maka, sudah pada tempatnya bila MUI mencari jalan yang lebih taktis. Sebagai lembaga yang "terjepit" di tengah-tengah antara ulama Islam dan penguasa, tidak ayal bila MUI harus mencari "jalan lain" yang lebih bisa diterima semua pihak. Seislam-islamnya MUI, waktu itu, adalah Islam yang bisa diterima penguasa. Sebaliknya, sedekat-dekatnya dengan penguasa, MUI masih merupakan representasi ulama Islam.
Posisi MUI di awal-awal Orde Baru memang memiliki tempat yang khusus di mata penguasa, karena, antara lain, untuk menjadi ketua MUI memang harus mendapat restu penguasa. Bahkan, tidak jarang MUI dituduh sebagai "alat penguasa". Dalam hal ini bisa jadi istilah "dakwah bil hal" lahir sebagai penerapan satu prinsip ushul al fiqh ini: Maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh, sesuatu yang tidak bisa dipakai semua jangan ditinggalkan semua.
Dalam suasana apa pun dan dalam kondisi apa pun dakwah harus tetap berjalan. Tidak bisa bil lisan, bisa bil kalam. Tidak bisa bil kalam, nah ini dia: bil hal.
Dalam situasi di bawah penguasa Orde Baru yang tidak menginginkan Islam politik hidup kembali, istilah "dakwah bil hal" dianggap tidak berkait dengan politik dan tidak berhubungan dengan pemilu. Maka, MUI sangat sering membahas topik-topik dakwah yang tidak sensitif di telinga penguasa.
ISTILAH "dakwah bil hal" yang sudah begitu populer ternyata merupakan istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yang kemudian merembet
BERITA TERKAIT