Dangkal Dalam

Oleh: Dahlan Iskan

Dangkal Dalam
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

"Asia rasanya senang dengan kemenangan Trump. Ada jaminan tidak akan ada perang lagi," kata saya.

"Bagaimana dengan Tiongkok?" tanya John yang pernah saya ajak ke sana.

"Rasanya Tiongkok juga senang," jawab saya ngawur. "Secara tradisional Tiongkok lebih sulit ketika yang berkuasa di sini Demokrat."

Demokrat lebih mempersoalkan demokratisasi, hak asasi, dan sangat anti-totaliter.

Saya tidak ingin melihat reaksi mereka. Saya lari menuruni tangga. Saya harus ingat kepentingan utama saya datang ke rumah John: menyerahkan novel yang dia tulis yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sudah terbit di Indonesia. Penerjemahnya Anda sudah tahu: Naksin Alhad.

Saya ambil dua novel tebal dari tas saya. Saya serahkan ke John. Juga ke Chris, istrinya. Yang dua orang tidak saya beri. Mereka tak akan bisa membacanya.

Maka pembicaraan pun pindah ke soal novel itu. John berbinar-binar. Sambil menceritakan perjalanannya lebih 10 kali ke Indonesia -mulai Jambi sampai Wamena.

John juga punya kejengkelan lain selain pada Trump. Di novel itu dia menulis soal demokrasi, kebebasan, dan bahayanya totalitarian. Harapannya, waktu itu, Indonesia segera jadi negara demokrasi.

Siapa ini? Aneh. Ada wanita tua yang tidak saya kenal di rumah John Mohn di Lawrence, Kansas. Lalu muncul pula dari dalam salah satu kamar: suaminya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News