Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan
Jumat, 12 September 2008 – 13:09 WIB
Lahan itu makin luas setelah warga Kemang, Jakarta, pemilik tanah yang menjorok ke bawah dekat kavling Daoed ikut menawarkan lahannya. ”Pada 1973 saya pulang dari Prancis lalu bangun rumah sampai 1975. Jadi, rumah, tanah, dan mobil saya miliki sebelum jadi menteri. Ini perlu untuk dicatat,” katanya.
Daoed memiliki latar belakang yang unik. Orangtuanya, pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah, meski hanya bisa baca tulis huruf Arab sangat memperhatikan pendidikan. Setelah masuk SD Melayu lima tahun di kota kelahirannya, Medan, Daoed mengikuti SD peralihan yang dibuka oleh Kesultanan Deli. ”Saat itu sulit sekali cari sekolah di Sumatera. Setiap hari saya jalan kaki 20 kilometer,” tuturnya.
Anak keempat dari lima bersaudara itu lalu masuk sekolah Belanda, HIS dilanjutkan ke MULO. Saat revolusi fisik Daoed ikut angkat senjata, hingga dia meninggalkan Sumatera menuju Jogja. ”Emak (Ibu) saya mengajarkan untuk selalu mencatat kejadian penting setiap hari. Itu juga saya lakukan, tapi sayang ada beberapa yang hilang karena dipinjam teman,” kata Daoed.
Hijrah di Jogja, Daoed berkenalan dengan seniman-seniman di sana. Bahkan, di kawasan Malioboro Daoed dikenal sebagai pelukis yang anti penjajah. Dia bersahabat dengan Affandi, Tino Sidin, dan Nasyah Djamin. Daoed juga sempat memimpin Seniman Muda Indonesia di Jogja.
Saat pendudukan Belanda pada 1948, Daoed melawan dengan membuat poster-poster penolakan terhadap pemerintah pendudukan NICA (Nederland Indies Civil Administration). Dia sempat ditangkap tapi lolos. Daoed lalu hijrah ke Jakarta melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. ”Saya dan Ibu (Soelastri, istrinya) dulu satu SMA di Jogja. Lalu sama-sama kuliah di UI. Saya di ekonomi, Ibu di Fakultas Hukum,” katanya.
Awalnya, kata Daoed, Soelastri disarankan sang paman masuk Fakultas Kedokteran. ”Tapi, sama dengan saya, Ibu takut darah. Ngeri dah pokoknya,” katanya lalu terkekeh.
Saat kuliah, keduanya sama-sama berprestasi. Soelastri jadi asisten Prof Hazairin, guru besar hukum adat, sedangkan Daoed jadi asisten Prof Soemitro Djojohadikoesumo yang terkenal sebagai begawan ekonomi. Setahun sebelum lulus mereka menikah pada 9 Juli 1958.
”Tahun ini tepat 50 tahun pernikahan kami. Kebetulan tanggal 9 Juli-nya juga Rabu. Jadi persis. Hanya pasarannya saya lupa, pon, wage, atau kliwon,” kata pria berdarah Aceh itu lalu tersenyum.
Daoed Joesoef yang bulan lalu genap 82 tahun masih aktif berkarya. Lewat tulisan, mantan mendikbud yang menghapus libur puasa di sekolah ini tetap
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408