Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan

Daoed Joesoef, Sosok Pengabdi Dunia Pendidikan
Daoed Joesoef.
Enam tahun setelah nikah mereka ke Paris, Prancis, karena Daoed memperoleh beasiswa Ford Foundation.  Dia diterima di Universite Pluri-disciplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne. ”Sebenarnya Ibu juga dapat beasiswa dari Rockefeller Foundation. Tapi, karena anak kami Yanti (Sri Soelaksmi Damayanti)  baru umur satu tahun dua bulan, maka Ibu mengalah walaupun juga ikut ke Paris,” katanya.

Apalagi, lanjut Daoed, kelahiran putrid tunggalnya itu sudah dinanti-nanti selama lima tahun. ”Ibu itu orang Jawa, takut kualat,” tambahnya.

Daoed sukses mendapat dua gelar doktor sekaligus. Yakni, doktor untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional serta doktor untuk ilmu ekonomi. Sewaktu di Prancis itulah, pria yang menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis ini kerap mengadakan diskusi tentang ekonomi dan politik tanah air. Pulang dari Prancis, pada 1971, klub diskusi itu dilembagakan menjadi Center for Strategic and International Studies (CSIS), dan Daoed diangkat sebagai ketua dewan direksi. Saat memimpin CSIS, pada 1978 Daoed menerima penugasan dari Presiden Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Daoed yang masih aktif menulis artikel di media massa itu mengaku cemas dengan kondisi pendidikan sekarang. ”Saya khawatir kalau dana ditambah (menjadi 20 persen dari total APBN) justru semakin kacau, karena konsep dasarnya belum ada,” katanya.

Dia juga prihatin dengan kondisi guru di Indonesia. Alasannya, guru  itu bukan orang sembarangan. Ada penelitian di Inggris, kata Daoed, rata-rata guru dalam setiap mata pelajaran membuat keputusan 300 kali. ”Sekarang ini ada anak-anak yang benci matematika karena gurunya salah mengajar,” katanya.

Menurut Daoed, saat ini tidak ada pegangan yang jelas bagi dunia pendidikan. Dia lalu memberi contoh anaknya sendiri, Sri Soelaksmi Damayanti. Yanti, nama panggilan anaknya, adalah doktor di bidang ilmu mikrobiologi yang dulu dosen di IPB. ”Tapi, sekarang keluar. Dia tidak setuju kok universitas seperti perusahaan (biayanya mahal, Red). Anak-anak miskin bagaimana. Pendidikan sekan-akan jadi komoditas,” katanya.

Yanti akhirnya memilih mendirikan SD Kupu Kupu di lahan depan rumah mereka. Itu karena cucunya (anak Yanti), Garin, susah mencari sekolah yang tepat. ”Ada yang mengajarkan agama secara ekstrem. Tapi, ada juga sekolah internasional yang semuanya diajarkan dengan bahasa Inggris tanpa peduli dengan sejarah kebangsaan. Jadi sekan-akan anak Indonesia hanya diajari keterampilan mengeduk kekayaan saja,” katanya.

Saat jadi menteri Daoed memang dianggap kontroversial. Dialah yang menghapus kebijakan libur sekolah selama satu bulan puasa yang sudah berlaku puluhan tahun. ”Saat itu saya sempat dihujat. Katanya nama saya campuran nama dua nabi dan berdarah Aceh kok melecehkan Islam. Saya bilang, siapa yang melecehkan, saya justru mengembalikan kemuliaan Islam,” katanya.

Daoed Joesoef yang bulan lalu genap 82 tahun masih aktif berkarya. Lewat tulisan, mantan mendikbud yang menghapus libur puasa di sekolah ini tetap

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News