Dapat Ilmu di Penjara, Empat Residivis Bikin Upal
Seluruh tersangka bisa dibilang sudah masuk kelas veteran. Usia mereka sudah lebih dari setengah abad. Mereka semua juga para residivis. Otak sindikat bernama Fahrul Fauzi, misalnya, sudah berusia 63 tahun. Pria yang beralamat di Desa Ngaresrejo, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu awalnya bekerja sama dengan Samuel Likhi, 56, yang tinggal di Jalan Tambangboyo, Tambaksari, Surabaya.
Samuel yang pernah masuk bui gara-gara kasus penggelapan itu menjadi penyandang dana dalam pembuatan pabrik upal.
Samuel kenal Fauzi saat sama-sama meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Mojokerto pada 2009. Mereka lantas merekrut rekan Fauzi yang juga dikenalnya saat mendekam di penjara tersebut. Mereka adalah Mokh. Zainuri, 54, yang beralamat di Desa Bangsri, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, dan Jono, 64, asal Desa Ngampel, Kecamatan Balongpanggang, Gresik. Para pria sepuh itu sudah empat bulan ini menekuni bisnis upal.
Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta mengungkapkan, pabrik upal itu bisa dibongkar polisi berkat informasi dari masyarakat. Informasi tersebut lantas ditelusuri Subnit VC Unit Jatanum Satreskrim Polrestabes Surabaya. "Kami pancing para penjual upal itu untuk bertransaksi secara langsung," kata Setija kemarin.
Transaksi berlangsung di depan Hotel Pasar Besar Surabaya. Polisi menyamar sebagai pembeli upal dengan perbandingan 1:4. Artinya, selembar Rp 100 ribuan asli ditukar dengan Rp 400 ribu uang palsu. Transaksi penjebakan berlangsung mulus dan polisi bisa menangkap para pelaku dengan mudah.
Setija mengungkapkan, berdasar hasil pemeriksaan, penyidik belum bisa menemukan keterkaitan upal itu dengan penggunaan untuk kampanye pemilu yang sebentar lagi berlangsung. Apalagi, para pelaku diketahui baru keluar penjara dan aktif lagi memproduksi upal selama empat bulan terakhir. "Kami tak bisa menghubungkannya dengan kampanye. Belum ada petunjuk ke sana," tegasnya saat didampingi Kasatreskrim AKBP Farman.
Pada penggerebekan yang dipimpin Kasubnit VC Iptu Teguh Setiawan itu, petugas menemukan begitu banyak barang bukti. Mulai upal siap edar Rp 13 juta (pecahan Rp 100 ribu), upal Rp 2 juta (pecahan RP 50 ribu), seperangkat komputer, printer, dan 29 screen atau alat untuk menyablon.
Alat pelengkap lainnya yang turut diamankan adalah lampu ultraviolet (UV), hair drayer, pemotong kertas, dua rol kertas kado warna ungu, satu set tinta minyak, tujuh rim kertas kosong, satu kantong bubuk fosfor hijau, kuning, merah dan serbuk tinta emas.
Selain upal yang siap edar, masih ada pula yang masih berupa lembaran. Misalnya, 30 lembar pecahan Rp 50 ribu dan 19 lembar berisi upal pecahan Rp 100 ribu. Tiap lembar kertas itu berisi delapan upal.
Begitu banyaknya peranti yang dipergunakan itu menunjukkan betapa seriusnya para pelaku menggarap upal buatan mereka. Berdasar hasil penyelidikan, upal tersebut dicetak hingga enam kali. Yang pertama, membuat dasar dari kertas HVS 60 gram dengan tinta putih. "Cara itu dilakukan untuk membuat tekstur kertas agar lebih kasar dan sedikit tebal," kata Kanit Jatanum AKP M. Solikhin Fery.
Proses selanjutnya adalah pencetakan tanda gambar pahlawan dengan teknik khusus. Cara itu dilakukan agar upal tersebut bisa lolos saat diterawang seperti tanda air. Berikutnya, mereka melekatkan benang khusus yang hanya terbuat dari kertas kado warna ungu. Kertas itu ditempel sedemikian rupa hingga bisa mirip dengan uang asli.
Bila telah selesai dan kering, langkah selanjutnya adalah menyablon seluruh bagian upal bolak-balik. Berikutnya, adalah penyablonan nominal uang dan gambar pulau Indonesia yang dibuat dari fosfor. Fosfor dipakai agar bisa dilihat dengan lampu UV. "Proses terakhir adalah penyablonan nomor seri. Yang dipakai tersangka tersebut hanya empat seri nomor," tutur Fery. Dengan cara seperti itu, upal tersebut layaknya uang asli. Sebab, ketika diterawang, muncul tanda air gambar pahlawan. Lalu, ketika dilihat dengan lampu UV, juga muncul angka nominal dan gambar pulau yang menyala.
Meski begitu, upal bikinan Fauzi cs itu punya kelemahan mendasar. Upal tersebut tak tahan air, teksturnya kaku, serta lebih tebal dari uang biasa. Upal akan rusak begitu saja bila basah. Sebab, mereka tak menggunakan cat antiair yang bisa melindungi kertas HVS. "Kalau pakai yang antiair, warnanya kurang bagus. Jadi, pakai yang biasa saja," kata Fauzi yang punya dua anak itu.
Fauzi mengungkapkan, dirinya mendapatkan ilmu membuat upal semacam itu saat berada di penjara. Dia masuk bui juga gara-gara terjerat kasus upal pada 2009 di Mojokerto. "Di dalam penjara saya ketemu tahanan lain dari Semarang yang juga bisa bikin uang palsu," ungkapnya.
Saat keluar penjara awal 2013, dia pun kembali tertarik untuk berbisnis upal tersebut. Dia mengaku terpaksa dan sedang butuh uang untuk membiayai kehidupan anak-anaknya. Dia menuturkan butuh uji coba selama empat bulan untuk mempraktikkan ilmu yang didapatkan di penjara itu. Dia mengaku belum sempat mengedarkan upal tersebut. Order pertama yang datang langsung dari polisi yang menyamar, kemudian menangkapnya.
Atas perbuatannya itu, Fauzi cs harus kembali berurusan dengan polisi. Mereka juga harus bersiap untuk menghadapi tuntutan pasal 36 dan pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100 miliar. (jun/c10/nw)
SURABAYA - Sindikat pencetak uang palsu (upal) kembali digerebek polisi. Empat tersangka yang terlibat dalam sindikat itu dapat dibekuk anggota
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- Seorang Pelajar SMKN 4 Semarang Meninggal Dunia, Diduga Ditembak Polisi
- Begini Modus Sindikat Jual Beli Bayi Lewat Facebook
- Polisi Ungkap Kasus TPPO di Palembang, Tiga Tersangka Ditangkap
- SPBU di Sleman Ini Curang, Merugikan Konsumen Rp 1,4 Miliar
- Begini Analisa Reza Indragiri Soal Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
- Kabagops Polres Solok Selatan Tembak Kasat Reskrim yang Usut Tambang Liar, IPW Bilang Begini