Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri
Saya minta Arifin Tasrif, Dirut PIHC, melakukan studi pembangunan pipa gas dari Riau ke Medan. Mengapa? Saat ini Pertagas (anak perusahaan Pertamina) membangun pipa gas dari Medan ke Lhokseumawe. Sejauh 330 km. Hampir selesai.
Di pihak lain saat ini sudah ada pipa gas dari Riau ke Sumsel dan Jawa. Tinggal Riau-Medan yang belum nyambung. Jaraknya sejauh kira-kira 500 km.
Kalau pipa gas Riau-Medan bisa dibangun, infrastruktur gas kita sangat kuat. Iskandar Muda juga bisa mendapat gas murah dari selatan. Perbedaan harga gas di Sumsel dan Aceh sudah mencukupi untuk membangun pipa gas tersebut.
Pipa tersebut juga akan terus nyambung ke Jawa Timur. Sekarang ini juga ada kesepakatan baru bahwa pemasangan pipa Cirebon-Semarang segera dimulai. PT Rekayasa Industri, anak perusahaan PIHC yang lain, sudah setuju bekerja sama dengan PGN untuk segera memulai pembangunannya. Akhir bulan ini.
Kalau ini berhasil, infrastruktur gas kita sudah sangat kuat. Apalagi, sebentar lagi LNG Arun sudah berhasil diubah menjadi receiving LNG terminal. Stasiun penerima LNG terapung di utara Jakarta juga sudah beberapa bulan beroperasi. Stasiun yang sama di Lampung, yang dibangun PGN, juga hampir jadi.
Memang, besarnya kapasitas pabrik pupuk kita belum otomatis menyelesaikan masalah di lapangan. Seperti sekarang ini: beberapa daerah melapor kekurangan pupuk. Bisa dipastikan yang kurang itu adalah pupuk bersubsidi.
Rupanya ada masalah saat menentukan besarnya pupuk bersubsidi. Waktu itu pemerintah dan DPR menyepakati jumlah pupuk bersubsidi 7,8 juta ton. Ternyata ini tidak cukup. Kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 9,2 juta ton.
Jadi, pupuknya sendiri ada. Tersedia. Banyak. Barang itu juga sudah siap di gudang-gudang di setiap daerah. Masalahnya pupuk itu tidak boleh disalurkan. Sebelum angka tersebut diperbarui. Kementerian Pertanian harus bertemu DPR dulu. Begitu keputusan itu dibuat, pupuk bisa langsung disalurkan.