Dari Pakai Batik ke Kantor Hingga Menjadi Jembatan Sains, Inilah Tiga Saintis Perempuan Indonesia di Australia
Menghubungkan temuan sains kedua negara
Di tengah pandemi COVID-19, Ines Irene Caterina Atmosukarto atau yang lebih dikenal dengan Dr Ines Atmosukarto, banyak dimintai pendapatnya oleh media nasional dan internasional.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Ines bermukim di Australia, mendapat tantangan untuk mengelola dan membangun sebuah perusahaan start-up bernama Lipotek, yang mengembangkan teknologi platform untuk vaksin baru.
Jabatan Ines adalah Chief Scientific Officer sekaligus Managing Director untuk perusahaan tersebut.
Fokus Ines dari selama sepuluh tahun terakhir ini adalah membangun jembatan antara karya yang dibuatnya dengan Indonesia.
"Walaupun saya ada di luar Indonesia, pekerjaan saya banyak sekali ada kerja samanya dengan Indonesia, misalnya dengan PT Bio Farma, kami mengembangkan vaksin baru untuk Tuberculosis," ucap Ines.
Ines pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada tahun 1991 sebagai penerima beasiswa yang digagas oleh BJ Habibie.
Ia termasuk kurang dari 20 perempuan dari seribu penerima beasiswa saat itu.
"Saya memilih Biokimia, Biologi Molekuler, dan Genetika karena spesialisasi itu masih belum umum di Indonesia," ujar Ines, yang juga pernah bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sepulangnya studi di tahun 2001.
Tiga saintis perempuan asal Indonesia ini tinggal di Australia dan berkiprah di tingkat dunia
- Upaya Bantu Petani Indonesia Atasi Perubahan Iklim Mendapat Penghargaan
- Dunia Hari Ini: Tanggapan Israel Soal Surat Perintah Penangkapan PM Netanyahu
- Dunia Hari Ini: Warga Thailand yang Dituduh Bunuh 14 Orang Dijatuhi Dihukum Mati
- Biaya Hidup di Australia Makin Mahal, Sejumlah Sekolah Berikan Sarapan Gratis
- Digitalisasi untuk Mendorong Pengembangan Pariwisata Indonesia Perlu Dilakukan
- Universitas Bakrie Jadi Jembatan Pengembangan Industri Halal Antara Indonesia dan Filipina