Dari Petisi 50 ke Petisi 100

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Dari Petisi 50 ke Petisi 100
Presiden Kedua RI Soeharto sedang menelepon di kantornya di Bina Graha, Jakarta Pusat. Foto: Antara Foto

Semasa kekuasaan Orde Lama di bawah Sukarno, Partai Masyumi menjadi penentang utama demokrasi terpimpin yang diprakarsai oleh Proklamator RI itu.

Masyumi juga menentang penggabungan nasionalisme, agama, dan komunisme menjadi Nasakom. Karena bersikap oposan itulah Masyumi dibubarkan oleh Sukarno, lalu tokoh-tokohnya dipersekusi dan dibui.

Setelah Soeharto menggulingkan Sukarno melalui kudeta militer terselubung, tokoh-tokoh Masyumi melihat ada peluang untuk bangkit. Namun, Soeharto mencium gejala itu sejak dini.

Masyumi yang independen dan kritis akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto. Tentu saja Soeharto menolaj upaya menghidupkan kembali Masyumi.

Soeharto melangkah lebih jauh dengan menggabungkan parta-partai Islam ke dalam satu parpol hasil fusi. Parpol-parpol Islam digabung menjadi satu ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai-partai nasionalis dan Kristen digabung menjadi satu dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Soeharto menggunakan kendaraan politik bernama Golongan Karya atau Golkar.

Partai-partai politik dianggap sebagai biang kerok keributan. Oleh karena itu, partai harus ditertibkan.

Kehidupan partai dikontrol dengan ketat dan tidak ada politikus yang bisa menjadi ketua parpol tanpa restu Soeharto. PPP dan PDI dipimpin oleh orang-orang yang loyal kepada Soeharto.

Petisi 50 berakhir dengan hampa dan para petisiwannya menjadi paria politik. Masih akan dilihat apakah Petisi 100 akan bernasib sama atau lebi baik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News