Dari Petisi 50 ke Petisi 100

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Dari Petisi 50 ke Petisi 100
Presiden Kedua RI Soeharto sedang menelepon di kantornya di Bina Graha, Jakarta Pusat. Foto: Antara Foto

Pemilu pun menjadi ajang demokrasi prosedural yang sudah didesain degan cermat. Dengan demikian, Golkar bisa menang mudah dan mutlak dalam setiap pemilu.

Soeharto melakukan konsolidasi ideologi dengan membuat tafsir tunggal atas Pancasila untuk kepentingan politiknya sendiri. Soeharto memperkenalkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman politik dan ideologi Orde Baru.

Soeharto memonopoli Pancasila dan menjadikannya sebagai perisai untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.

Memang Bung Karno memperkenalkan demokrasi terpimpin yang membawanya menjadi presiden yang otoriter. Namun, Soeharto justru mengulangi hal yang sama dengan memperkenalkan konsep ’Demokrasi Pancasila’ yang dalam praktiknya tidak mengandung demokrasi sama sekali.

Soeharto memakai Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai pendukung utama kekuasaannya. Dua institusi itu dijadikan sebagai pengawal utama Pancasila versi Soeharto.

Pancasila menjadi senjata yang dibuat sakral oleh Soeharto. Tidak ada seorang pun yang boleh mengritik Pancasila.

Kekecewaan terhadap Soeharto makin menggumpal dan memuncak. DPR sebagai wakil rakyat tidak berfungsi optimal.

Oposisi dalam berbagai bentuknya diberangus secara kejam. Media massa sebagai pilar demokrasi diawasi dengan ketat.

Petisi 50 berakhir dengan hampa dan para petisiwannya menjadi paria politik. Masih akan dilihat apakah Petisi 100 akan bernasib sama atau lebi baik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News