DDTC Fiscal Research Luncurkan Kondisi Pajak Indonesia di 2019, Ini Hasilnya
PMK tersebut pada dasarnya tidak memberikan kebijakan baru yang bersifat khusus, tetapi hanya berupa terobosan administrasi serta tatacara pemajakan bagi ekosistem e-commerce.
Memang benar bahwa beleid tersebut masih memiliki kekurangan, yaitu belum bisa menjamin level playing field antara perdagangan elektronik domestik dengan asing maupun juga platform online lainnya, kurang disusun secara partisipatif, serta menimbulkan biaya kepatuhan.
“Namun demikian, pencabutannya sangat disayangkan terutama karena kemampuan pemerintah dalam memperoleh data dan informasi untuk memetakan kepatuhan pajak akan lebih sulit. Padahal, data dan informasi sangat krusial terutama dalam konteks ekonomi digital yang oleh OECD (2017) sering disebut sebagai new shadow economy.” Imbuh Bawono.
Ketiadaan kewajiban untuk mengumpulkan informasi transaksi dan identitas tersebut bisa menyulitkan pemerintah untuk memperluas basis pajak. Padahal kita tahu transaksi e-commerce di Indonesia nilainya besar dan diprediksi akan terus meningkat. OECD (2019) juga berpendapat bahwa platform digital berperan krusial dalam kepatuhan pajak, khususnya PPN, baik dalam hal kerja sama pemberian informasi kepada otoritas pajak, pemungut dan penyetor pajak, maupun sebagai pihak yang mengedukasi merchants di platform mereka.
Di sisi lain, kehadiran digitalisasi harusnya tidak selalu dipandang secara negatif bagi arena pajak. Dari sisi administrasi pajak, penerapan teknologi dan digitalisasi umumnya dilakukan melalui pelaporan berbasis elektronik, pengumpulan dan pengolahan data dengan lebih efisien, layanan informasi, mengurangi error, dan mendeteksi adanya kecurangan. Adanya proses digitalisasi telah menciptakan kemudahan (efisiensi), komunikasi dan interaksi secara real time, serta transparansi. Ketiga elemen tersebut secara tidak langsung akan berakibat bagi meningkatnya kepatuhan pajak.
Arah reformasi pajak di suatu negara belum tentu sesuai untuk menyelesaikan permasalahan di negara lain. Namun, pengetahuan mengenai sistem pajak di negara lain menjadi krusial. Hal ini dikarenakan interaksi antarsistem pajak makin tidak terhindarkan dalam konteks globalisasi. Bagaimanapun, reformasi pajak harus dipahami sebagai cara untuk membawa sedekat mungkin ke arah yang paling ideal dan seimbang (second best policy).
“Kalau ada keberhasilan reformasi di suatu negara, belum tentu itu berhasil untuk diadopsi di negara lain. Tidak ada resep yang berlaku untuk semuanya,” ujar B. Bawono Kristiaji, Partner DDTC Fiscal Research saat peluncuran Indonesia Taxation Quarterly Report (Q1-2019) bertajuk ‘Tax and Digital Economy: Threats and Opportunities’, Kamis (2/5/2019).
Setidaknya harus dipahami, tren reformasi pajak di berbagai negara dalam 5 tahun terakhir dipicu oleh beberapa hal. Pertama, pengumpulan penerimaan. Kedua, pendorongan daya saing di tengah ketidakpastian ekonomi. Ketiga, perlindungan basis pajak dan era transparansi. Keempat, perlindungan hak wajib pajak dan kepastian. Kelima, peningkatan kepatuhan melalui simplifikasi. Keenam, paradigma baru untuk menjamin kepatuhan. Ketujuh, ekonomi digital.
Fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat memasuki 2019 yaitu tahun dengan ketidakpastian terkait dengan pemilu dan gejolak ekonomi global.
- Capaian Penerimaan Pajak 2021 Diyakini Bisa Menekan Defisit APBN
- Hergun: Target Pajak 2021 Tercapai Berkat Kenaikan Harga Komoditas & Energi
- Pesan Pak Rachmat untuk Rencana Tax Amnesty Jilid Dua
- Anak Buah Prabowo Dorong Jokowi Segera Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu
- Sandi Kritik Tax Amnesty Seperti Berburu di Kebun Binatang
- Target Pajak Makin Tinggi, Ini Saran Ketua Umum HIPMI