Debaran-Debaran Jantung di Sekitar Inalum
jpnn.com - ADA dua debaran jantung pada hari-hari menjelang tanggal 31 Oktober 2013. Pertama ketika sidang Komisi XI DPR tidak kuorum pada 24 Oktober. Akibatnya, hari itu tidak bisa diambil putusan untuk menyetujui pelaksanaan pengambilalihan PT Inalum yang tinggal tujuh hari lagi. Padahal, DPR sudah mau reses.
Untungnya, pada 30 Oktober 2013 sidang diadakan lagi dan putusan pun diambil: DPR setuju. Besoknya adalah hari terakhir kepemilikan Jepang di Inalum. Besoknya DPR memasuki masa reses.
Debaran jantung kedua adalah perubahan sikap pihak Jepang. Tanggal 30 Oktober itu tiba-tiba ada surat masuk yang isinya mengejutkan: penyerahan PT Inalum tidak jadi berdasar penyerahan saham, tapi penyerahan aset.
Bagi kita sebenarnya sama saja. Inalum punya dua aset yang utama: pembangkit listrik Sigura-gura (Asahan II) di hulu Sungai Asahan dan pabrik aluminium di hilir Sungai Asahan. Asal dua aset tersebut diserahkan ke Indonesia, tidak ada bedanya dengan penyerahan saham. Hanya, perubahan mendadak menjadi penyerahan aset itu memang lebih sesuai dengan bunyi perjanjian pokok (master agreement). Bahwa selama ini perundingannya berdasar pada penyerahan saham itu atas usul pihak Jepang juga.
Hanya, dengan perubahan mendadak itu, kita bisa membaca arah berikutnya. Pihak Jepang akan menempuh jalur arbitrase.
Bagaimana kalau itu terjadi? Tidak apa-apa. Dalam bisnis hal seperti itu normal. Toh tidak memengaruhi penyerahan aset Inalum kepada Indonesia. Sejak 1 November lalu operasi Inalum sepenuhnya dipegang Indonesia. Direktur Utama Inalum dan direktur lainnya dari Nippon Asahan Aluminium (NAA) sudah tidak berkantor lagi. Sudah meninggalkan Indonesia dengan baik-baik. Arbitrase itu hanya untuk menentukan nilai berapa dolar kita harus membayar penggantian aset tersebut.
Untuk menentukan angkanya, memang ada perbedaan cara memutuskan. Jepang lebih mudah untuk minta angka yang tinggi. Sebaliknya, kita tidak bisa memenuhi begitu saja angka yang disodorkan pihak Jepang itu. Bukan saja kita ingin angka yang lebih murah, tapi juga karena pihak kita adalah negara. Tidak bisa fleksibel. Tidak seperti swasta.
Di swasta ada mekanisme pengambilan keputusan yang disebut commercial decision. Dengan mekanisme itu, pengambil keputusan bisa menawar angka tertentu begitu saja. Dan kalau tawaran tersebut belum bisa diterima, pengambil keputusan bisa menaikkannya sedikit-sedikit.