Debat Malu-Malu Kucing

Debat Malu-Malu Kucing
Debat Malu-Malu Kucing
Tentu saja dalam beda pendapat, bahkan mengkritik selalu beretika. Tapi di negara demokrasi tak dilarang mengatakan “tidak” kepada lawan politik. Seorang “lawan” adalah “kawan” dalam berbeda pendapat, meskipun tak selalu stagnan. Bahkan, beda pendapat memungkinkan ditemukannya modus agar tak menjadi debat kusir.

Jika hanya karena SBY dan JK pernah menjadi menteri dalam kabinet Mega sehinga menjadi sungkan berdebat, naif rasanya. Jangan-jangan suasana diskusi yang perlu diatur sehingga memungkinkan setiap pendapat Capres-Cawapres teruji secara kreatif oleh lainnya. Moderator berperan mengatur lalu lintas pendapat dengan melempar topik yang memancing prokontra.

Kehidupan politik toh tak dianggap tidak santun jika melakukan interupsi, interpelasi, hak angket dan bahkan bersikap abstain dan walk out. Itulah yang membedakan pentas politik masa Orde Baru dan reformasi sejak 1998 silam.

Anggapan Ben Anderson bahwa demokrasi Indonesia justru berdiri pada latar belakang kebudayaan yang feodalis, telah dikoreksi oleh zaman. Mungkin, analisis Ben itu cocok di masa Orde Baru ketika kehidupan politik sangat monolit yang semakin kental oleh dominasi Soeharto terhadap ABRI (kini TNI), Golkar dan Birokrasi, sehingga PPP dan PDI hanya sekedar aksesoris demokrasi.

Debat antarcawapres, Selasa (23/6) di studio SCTV, Senayan City, Jakarta dan ditayangkan secara nasional itu memang belum head to head. Tapi setidaknya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News