Debat Tak Kunjung Usai
Jumat, 07 Agustus 2009 – 20:37 WIB
Konsolidasi pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 di masa Soekarno-Hatta “melemah” karena Bung Hatta mundur sebagai Wapres. Tampillah, era Demokrasi Terpimpin pada era 1959-1965 dan tak bisa dianggap sebagai pengejawantahan dari, antara lain pasal 33 UUD 1945. Pemerintah malah lebih terkuras memikirkan Dwikora, pembebasan Irian Barat dan Trikora, pengganyangan Malaysia hingga 1963-an.
Berbeda dengan konsolidasi kapitalisme di era Soeharto jauh lebih terencana. Memang, Prof Sumitro Djojohadikusumo, aktivis Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan dosen UI pada 1950-an mengirimkan sejumlah ekonom muda ke AS. Bukan ke London School of Economics yang haluannya “lebih kiri. Maklumlah, tawaran beasiswa datang dari Ford Foundation, yang berhaluan kanan.
Ada apologi bahwa ilmu ekonomi selalu universal, biar pun belajar di London, Harvard-MIT atau Berkeley. Diakui bahwa aplikasi ekonomi selalu dipengaruhi oleh pandangan ideologi, akan tetapi tools of analysisnya dianggap serba netral dari kecenderungan ideologi.
Generasi Sadli dan kawan-kawan mengagumi dan menggali ilmu baik dari versi ekonom Prof Arthur Lewis yang berhaluan “kiri” maupun dari guru besar seperti Kindleberger dan Rostow dari Harvard-MIT yang “kanan.” Yang penting tools of analysis harus rigid, sedangkan warna ideologisnya diserahkan kepada individunya.