Debat Tak Kunjung Usai
Jumat, 07 Agustus 2009 – 20:37 WIB
Sumitro kemudian meninggalkan UI karena dianggap “terlibat”(?) pemberontakan PRRI. Toh, Sadli dan Prof Subroto masih studi ke Yugoslavia mengikuti kursus musim panas “membangun sosialisme.” Batara Simatupang pergi ke Stanford University untuk gelar S3 dan di sana ada guru besar terkenal berhaluan sosialis, Paul Baran. Mereka pun mengagumi Prof Oscar Lance dari Polandia yang memadukan sosialisme dan pasar.
Sebaliknya, mata kuliah koperasi di UI yang diperkenalkan Sumitro dicoret dari kurikulum. Apalagi kemudian ekonom UI pun masuk ke Kabinet Soeharto di awal Orde Baru, yang mulai menjauhi kebijakan command economics ala Soekarno. Kabinet Soeharto cenderung ke paham free market forces and market mechanism. Deregulasi muncul mengikuti pasar, karena ada kekecewaan generasi Sadli kepada praktek pasal 33 UUD 1945 oleh pemerintahan Soekarno.
Perekonomian sudah bergeser ke arah market-based rules, maka regulasinya haruslah market friendly, not going against the market. Muncullah, anekdot bahwa arsitek perekonomian Indonesia telah disetir “Mafia Berkeley.” Anehnya, Orde Baru tetap memberlakukan system monopoli dan konglomerasi yang disangga pemerintah, padahal bertentangan dengan ekonomi pasar.
Memang, menolak kapitalisme global tak mungkin karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dalam perekonomian dunia. Mungkin, diperlukan pembubuhan kata Pancasila, atau “social capitalism” atau “capitalism with a human face”.