Defisit, Stop Ekspor Gas
Kamis, 09 Juni 2011 – 13:28 WIB
JAKARTA - Pemerintah ditantang untuk berani menghentikan ekspor gas karena dinilai tak menguntungkan, bahkan sebaliknya lebih banyak merugikan negara sendiri. Pasalnya, pemenuhan kebutuhan gas untuk industri nasional terus saja defisit. "Buat apa ekspor kalau tidak menguntungkan dan hanya merugikan diri sendiri. Lebih baik dipakai untuk kebutuhan domestik," ujar pengamat migas A Qoyum Tjandranegara di Jakarta, Rabu (8/6).
Qoyum menilai, sangat tidak adil Indonesia sebagai produsen migas malah mengalami defisit gas. Hal ini, kata Qoyum bisa diadukan ke badan arbitrase internasional sebagai solusi karena saat ini para produsen di dalam negeri masih terikat kontrak jangka panjang untuk mengirim gas ke luar negeri.
Baca Juga:
Ia membeberkan, setiap tahun negara kehilangan devisa dari pengurangan net ekspor yang cukup besar, akibat mengekspor gas murah. Sebaliknya mengimpor bahan BBM lebih mahal. Menurutnya, pada 2006, Indonesia kehilangan devisa Rp 91,9 triliun. Bahkan kerugian devisa ini terus meningkat menjadi Rp 101,2 triliun (2007) dan Rp 140 triliun (2008). Belum lagi ditambah biaya operasi akibat penggunaan BBM yang mahal
itu.
Diuraikan, pada 2006 tambahan biaya operasi mencapai Rp 59 triliun. Biaya itu naik menjadi Rp 56,2 triliun (2006), Rp 56,2 triliun (2007), Rp 53,8 triliun dan Rp 73,4 triliun (2009). Dari data Kementerian Keuangan 2005-2011, biaya subsidi BBM terus membengkak setiap tahunnya.
JAKARTA - Pemerintah ditantang untuk berani menghentikan ekspor gas karena dinilai tak menguntungkan, bahkan sebaliknya lebih banyak merugikan negara
BERITA TERKAIT
- BNI Emerald Center Manjakan Nasabah Premium dengan Konsep Baru
- Perusahaan Tambang Harus Memberikan Dampak Positif Kepada Masyarakat
- PPN 12 Persen Menunggu Keputusan Presiden Prabowo
- Penyaluran Kredit dan DPK BTN Meningkat, di atas Pertumbuhan Rata-rata Nasional
- Komitmen Berstandar Tinggi, Peruri Sabet Peringkat Gold di SNI Award
- Dukung NZE 2060, Telkom Indonesia Kampanyekan Go Zero