Demi Rakyat, DPR Terbuka Bahas Revisi UU Otsus Papua
jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menyatakan parlemen terbuka terhadap pemerintah yang ingin melakukan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Azis menegaskan bahwa DPR RI secara terbuka menerima segala masukan dari berbagai elemen terkait Otsus Papua.
“Demi membangun Bumi Cendrawasih yang kita cintai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Azis, Senin (22/2).
Pimpinan DPR bidang koordinasi politik, hukum, dan keamanan itu menambahkan Otsus Papua bertujuan menciptakan terwujudnya kesejahteraan dan kesetaraan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat secara keseluruhan.
“Kami ingin Papua dan Papua Barat dapat lebih sejahtera dan tidak ada lagi perbedaan dari segi apa pun, sehingga kesejahteraan dan kualitas pendidikan dapat sama seperti di Pulau Jawa dan lainnya,” ungkap wakil ketua umum Partai Golkar itu.
Azis Syamsuddin meminta temuan penyimpangan anggaran dana otsus yang dilakukan Polri harus dapat diperhatikan dengan melakukan proses pengawasan secara ketat dengan mengedepankan akuntabilitas dan transparasi.
“Jika perlu ikut sertakan Komisi Pemberantasan Korupsi dan aparat penegakan hukum lainnya dalam mengawasi dana Otsus Papua agar tidak adanya penyimpangan terhadap penggunaan dana otsus,” pungkasnya. (boy/jpnn)
DPR memastikan akan bersikap terbuka menerima segala masukan dari berbagai elemen masyarakat terkait Otsus Papua. Tujuannya, demi kesejahteraan rakyat Papua dan Papua Barat.
Redaktur & Reporter : Boy
- Usulan untuk DPR: Pendidikan tentang Koperasi Diajarkan Mulai dari Sekolah Dasar
- Simpatisan Gelora Laporkan Mardani PKS ke MKD: Dia Selalu Mengolok-olok
- Komisi III Gelar RDPU Soal Misteri Pembunuhan Perantau Minang di Jakarta Timur
- Ini Kesimpulan Raker Komisi II & Menteri Nusron Wahid soal SHGB-SHM di Area Pagar Laut
- Rudianto Lallo DPR Terima Aduan Keluarga Calon Polwan Lasmini Soal Rekrutmen Polri
- RDPU Kasus Pembacokan di Tasikmalaya, Ketua Komisi III DPR Usir Kuasa Hukum Korban