Demokrat jadi Sasaran Kemarahan
Minggu, 11 Maret 2012 – 16:39 WIB
Ia menyatakan, sudah tiga kali LSI membuat survei BBM di saat menjelang kenaikan yakni 2005, 2008 dan 2012 ini. Di tiga survei itu, kata dia, penolakan atau ketidaksetujuan atas kenaikan harga BBM relatif tinggi dan stabil. "Di tahun 2005 (sebanyak) 82,3 persen publik tidak setuju. Di tahun 2008, (sebanyak) 75,1 persen. Penolakan itu selalu di atas 75 persen," katanya.
Baca Juga:
Dijelaskan dia, yang paling ditolak adalah kenaikan harga premium ketimbang pertamax plus atau solar. "Ini lumrah karena berdasarkan survei LSI 71,1 persen publik menggunakan premium. Sementara yang menggunakan pertamax hanya 15,8 persen, solar 7,9 persen, pertamax plus atau super extra hanya dua persen," kata Adjie.
Ia menjelaskan, yang menantang kenaikan harga BBM itu merata di semua segmen. Baik laki, perempuan, dari desa, kota, orang kaya, miskin, pendidikan tinggi maupun rendah, pemilih partai pemerintah ataupun partai oposisi. "Semua mayoritas menentang kenaikan harga BBM. Angka prosentase menentang kenaikan harga BBM di berbagai segmen ini beragam antara angka 67 persen sampai 95 persen," ungkap dia.
Jika harga BBM naik, kata dia, 54,27 persen mereka menyalahkan Partai Demokrat. Sebanyak 34,16 persen menjawab tidak tahu. Hanya 11,67 persen menyalahkan partai lain. "Demokrat menjadi tumpuan kemarahan publik atas kenaikan harga BBM," katanya.
JAKARTA -- Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah ditolak publik. Kesimpulan ini berdasar hasil survei yang dilakukan
BERITA TERKAIT
- Soal Dampak Green Bond, BNI Bisa Jadi Contoh dan Acuan Bagi Sektor Perbankan di Indonesia
- Pemkot Kupang Dorong Kemudahan Investasi untuk Penyerapan Tenaga Kerja
- Selamat! Dirut SIG Raih Top CEO Indonesia Awards 2024
- Garudafood Dorong Ekonomi Inklusif, Berdayakan UMKM
- Grab Berkolaborasi dengan TikTok Hadirkan Program Seru di Jakarta
- Waspada Efek Luar Biasa dari Kenaikan PPN 12 Persen