Desa Paringan di Ponorogo yang Semakin Banyak Dihuni Pengidap Schizophrenia (Gila)

Pak Kades Sering Urunan Bawa Warga yang Kumat ke RSJ

Desa Paringan di Ponorogo yang Semakin Banyak Dihuni Pengidap Schizophrenia (Gila)
Salamah (tiga dari kanan), pengidap schizophrenia yang dulunya bintang kelas. Foto: KARDONO/JAWA POS
Sebelumnya Salamah adalah perempuan yang cukup cerdas. Sejak SD sampai SMA, Salamah menduduki peringkat satu. Lulus SMA pada 2000, Salamah mengikuti kursus bahasa (sebagai salah satu penghasil TKI, Ponorogo mempunyai banyak kursus bahasa, seperti Korea, Jepang, Tiongkok. Ponorogo juga merupakan kota kecil yang mempunyai money changer).

Tak sampai setahun, Salamah boleh dibilang polyglot. Perempuan 29 tahun itu cukup lancar cas cis cus dalam lima bahasa. Yakni, Inggris, Arab, Mandarin, Korea, dan Jepang. Merasa sudah cukup bekal, dia merantau mencari kerja. Sempat bekerja di Gresik, di Bali, hingga akhirnya Salamah bekerja di Jakarta. Tak jelas apa kerjanya di Jakarta, pada 2002 Salamah mendadak pulang dalam keadaan depresi. Hanya omongan tak nyambung yang bisa diucapkannya.

"Saya disuruh makan krupuk, saya takut, saya dibawa ke gudang. Saya sakit," ucapnya ketika Jawa Pos bertanya tentang pekerjaannya di Jakarta. "Begitu itu terus jawabnya sejak semula," kata Heru, yang juga ikut dalam wawancara tersebut.

Satu kisah ekstrem mengenai penderitaan orang gila dan keluarganya adalah keluarga Sanem. Anak semata wayangnya, Supri, sudah 24 tahun ini dipasung di pekarangan belakang rumah. Perutnya diikat dengan sebuah rantai besar yang dililitkan hingga tembus ke dalam rumah. Di pinggir kiri-kanannya dibuat lubang berdiameter hingga satu meter dan sedalam satu meter. Juga ada cekungan-cekungan di tembok tersebut.

SELAIN kampung idiot, di Ponorogo terdapat kampung yang juga menyedihkan. Kampung tersebut dijuluki kampung sinting. Sebab, di daerah itu jumlah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News