Devisa Tinggi Terancam Hot Money
Jumat, 25 Maret 2011 – 04:04 WIB

Devisa Tinggi Terancam Hot Money
JAKARTA - Cadangan devisa negara yang sudah melampaui Rp 100 triliun dinilai belum sepenuhnya memberikan jaminan aman bagi perekonomian Indonesia. Sebab, saat ini Indonesia masih dipenuhi aliran modal asing yang bisa keluar masuk sesaat atau biasa disebut hot money.
"Supaya dana asing itu bisa betah caranya cuma satu, buat ekonomi Indonesia mampu menjanjikan keuntungan jangka panjang," ujar ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, Kamis (24/3). Menurut dia, realisasi investasi di Indonesia masih cukup rendah.
Hal itu, lanjut dia, menunjukkan rapuhnya pondasi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Pertumbuhan ekonomi juga kurang berkualitas karena sektor yang tidak diperdagangkan (non-tradable) lebih dominan ketimbang sektor yang bisa diperdagangkan (tradable atau riil). "Disebut kurang berkualitas karena sektor yang tidak diperdagangkan umumnya kurang menyerap tenaga kerja," lanjutnya.
Selain itu, hingga saat ini Indonesia masih dibebani banyak utang. Baik itu utang luar negeri maupun utang di dalam negeri. Dengan pondasi yang begitu rapuh, Faisal khawatir Indonesia tidak mampu mengatasi pembalikan modal asing secara besar-besaran (sudden reversal). "Jadi sebaiknya uang panas itu didinginkan," sarannya.
JAKARTA - Cadangan devisa negara yang sudah melampaui Rp 100 triliun dinilai belum sepenuhnya memberikan jaminan aman bagi perekonomian Indonesia.
BERITA TERKAIT
- ZALORA & Indodana PayLater Kolaborasi untuk Kemudahan Berbelanja Fesyen
- BPJPH Berkunjung ke Pabrik, Nestle Perkuat Komitmen Jaminan Produk Halal
- Aplikasi hi by hibank, Solusi Digitalisasi UMKM dalam Satu Genggaman
- Asuransi BRI Life Raih Penghargaaan Indonesia Best Digital Awards 2025
- Dirut PTPN III Dianugerahi Indonesia Best CEO Awards 2024
- Mentan Minta Pedagang Jangan Mainkan HET di Ramadan dan Idulfitri 2025