Di Antara Tatas, Beje dan Antusiasme Warga, Masih Ada Keraguan
Kamis, 21 Juli 2011 – 23:30 WIB
Dua tempat lainnya yang disinggahi para wartawan adalah Desa Sei Ahas, Kecamatan Mentangai, serta Desa Petak Puti, Kecamatan Timpah. Sekadar info, ada tujuh desa (Sei Ahas, Mentangai Hulu, Kalumpung, Katimpun, Katunjung, Tumbang Muroi dan Petak Puti) dari dua kecamatan tersebut yang merupakan wilayah kerja KFCP, dalam proyek percontohan REDD+ yang telah jalan sejak 2008 dan akan berakhir pada 2013 ini. Bedanya, jika di Tumbang Mangkutub serta Desa Petak Puti, rombongan sempat menginap masing-masing semalam, di Sei Ahas hanya singgah sebentar pas waktu Magrib dalam perjalanan hari pertama.
Kembali kepada antusiasme warga, di Sei Ahas misalnya, Suka sang kepala desa, bersama beberapa perangkat desa dan warganya, setidaknya juga sempat mengungkapkan hal itu kepada wartawan. "Kami tentu saja merasa senang dengan adanya program dari KFCP ini. Kami semua menyambut baik dan mendukungnya," ungkap Suka, sembari ditimpali anggukan dari warganya, yang antara lain menyebut bahwa selain insentif (dana) yang bisa mereka terima dari pembibitan hingga penanaman dan perawatan pohon, unsur 'konservasi lingkungan'-nya pun menjadi faktor penting bagi mereka.
Di Tumbang Mangkutub juga kurang lebih demikian. Surianto, sang sekretaris dusun yang bukan kebetulan adalah juga anak dari kepala dusun bernama Sigai E Saman, tak cukup menunjukkan antusiasme itu dengan raut muka penuh semangatnya. Kepada rombongan wartawan dan utusan CIFOR malam itu, ia bahkan menggarisbawahinya dengan memaparkan apa-apa yang telah dan siap mereka lakukan, demi mendukung program KFCP tersebut. Termasuk di antaranya menyediakan lahan untuk pembibitan pohon, serta dukungan pengerjaan dari warga dusunnya.
Lebih dari itu, Surianto pun tak lupa mengngkapkan bahwa warga setempat pada dasarnya juga sedari dulu sangat peduli pada lingkungan. Kendati ia juga mengakui bahwa pembalakan liar (illegal logging) sudah menjadi bagian dari kehidupan warga sejak beberapa generasi sebelumnya, namun ia dengan tegas mengklaim bahwa hal tersebut saat ini sudah bisa dikatakan tak berlangsung lagi. Pemahaman warga yang termasuk bagian dari Suku Dayak ini akan 'pemetaan' tanah dan lahan pun, lantas ia sebut sebagai bagian dari kearifan lokal mereka atas kondisi lingkungan. Demikian juga dengan tatas dan beje.
Meski tak begitu paham dengan istilah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang bagi banyak 'orang kota' pun masih
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408