Di Balik Gelombang Pembangunan Masif di Bali

Namun, tidak semua orang merasakan keuntungannya.
I Nyoman Larsia, yang berusia lima puluh lima tahun, memiliki sekitar 60 hektar lahan pertanian yang telah dimiliki keluarganya selama 300 tahun.
Turis yang bersepeda sering melewati sawah ini dan membantu para petani memperoleh penghasilan tambahan.
Ia bertekad untuk tidak menjualnya, tetapi mengatakan kedua anaknya yang sudah dewasa tidak ingin bekerja di ladang, dan tidak dapat mencari nafkah meskipun mereka melakukannya.
"Kesenjangan antara mereka yang bekerja di industri pariwisata dan petani semakin melebar," katanya.
Bahkan I Nyoman sendiri tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup dari bercocok tanam padi, jadi ia juga bekerja di bidang konstruksi, membantu membangun vila-vila.
Namun ia tetap tidak ingin menjualnya, meski tekanan dari para pialang tanah yang datang beberapa bulan sekali menawarkan harga yang semakin tinggi untuk ladang-ladangnya.
"Ada yang mencoba mengintimidasi saya, menyebut saya bodoh karena tidak menjual," katanya.
Gelombang konstruksi baru tengah melanda Bali, membabat sawah dan lahan tepi pantai untuk dijadikan vila, resor, dan proyek pariwisata besar yang
- Sulitnya Beli Rumah Bagi Anak Muda Jadi Salah Satu Topik di Pemilu Australia
- Rusia Menanggapi Klaim Upayanya Mengakses Pangkalan Militer di Indonesia
- BPKN Sebut Kebijakan Gubernur Bali Soal AMDK di Bawah 1 Liter Beri Dampak Negatif
- Rayakan Liburan Paskah yang Mewah di The Ritz-Carlton Bali
- Dunia Hari Ini: Siap Hadapi Perang, Warga Eropa Diminta Sisihkan Bekal untuk 72 Jam
- Rusia Mengincar Pangkalan Udara di Indonesia, Begini Reaksi Australia