Di Balik Industri Perkebunan Australia: Nasib Pekerja yang Menopang Sumber Pangan
Australia banyak membutuhkan pekerja di ladang pertanian, namun beberapa pekerja, sebagian tanpa dokumen resmi, mengaku diperlakukan buruk dengan upah sehari hanya AU$30, atau sekitar Rp300 ribu.
Mike* senang bisa datang ke Australia dari tempat asalnya Vanuatu di Pasifik untuk bekerja sebagai pemetik buah, lewat program resmi Pemerintah Australia 'Seasonal Program' atau Pekerja Musiman.
"Saya ingin bergabung dengan program ini untuk keluarga saya, agar bisa membawa uang pulang ke rumah," katanya kepada ABC.
Para pekerja migran menjadi penolong bagi para petani Australia selama pandemi COVID-19, karena kekurangan tenaga kerja akibat ditutupnya perbatasan.
Ketika Mike pertama kali bekerja sebagai pemetik buah anggur, dia tidak mengira apa yang akan dialaminya.
Upahnya ditentukan berdasarkan berapa banyak keranjang buah anggur yang bisa dipetiknya dalam sehari.
Jangankan mengirim uang untuk keluarganya di Vantuatu, penghasilannya tidak mencukupi uang yang sudah ia keluarkan untuk mendapat visa Australia dan tiket pesawat.
Bosnya tidak mengizinkan Mike ke gereja di hari Minggu karena ia harus bekerja.
Dewi, seorang pekerja di Australia mengatakan teman-temannya yang tak memiliki visa dan dokumen resmi takut dideportasi, jika melaporkan perlakuan buruk dari majikannya
- Misinformasi Soal Kenaikan PPN Dikhawatirkan Malah Bisa Menaikkan Harga
- Dunia Hari Ini: Mantan Menhan Israel Mengundurkan Diri dari Parlemen
- Dunia Hari Ini: Pemerintah Korea Selatan Perintahkan Periksa Semua Sistem Pesawat
- Jakarta Punya Masalah Kucing Liar, Penuntasannya Dilakukan Diam-diam
- Dunia Hari Ini: Ada Banyak Pertanyaan Soal Kecelakaan Pesawat Jeju Air
- Sejumlah Berita dari Indonesia yang Menarik Perhatian Australia di 2024