Di Era Digital Provokasi dan Hoaks Jadi Tantangan Demokrasi

Di Era Digital Provokasi dan Hoaks Jadi Tantangan Demokrasi
Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah dalam webinar bertajuk "Wujudkan Pemilukada Damai: Stop Provokasi dan Hoax di Media Sosial". Foto: supplied

Selain itu, yang perlu dicermati adalah politisasi SARA. Masyarakat bisa diadu domba hanya karena masalah perbedaan atau keunggulan salah satu suku atau agama. Ini yang harus dihindari pada tahun ini, kata Wijaya.

Satu lagi adalah adanya berita palsu dan ujaran kebencian. Di dunia barat hal ini bisa memungkinkan, tapi kita yang memiliki nilai-nilai Pancasila harus bisa mencegah.

Lalu, apa saja yang perlu dilakukan untuk menciptakan pemilu yang guyub dan damai?

"Pertama, kita mencoba mengorganisir teman-teman, keluarga, mungkin relawan, untuk menyampaikan pesan perdamaian serta menjaga persatuan pascapemilu. Kedua, melakukan pendidikan multikultural atau kolaborasi secara aktif berbagai program untuk mengedukasi pemilih, khususnya tentang pesan-pesan pemilu damai," papar alumnus S2 Monash University itu.

Meski demikian, tetap harus waspada adanya disrupsi, karena teknologi digital telah membuat pergeseran pola pikir dan pola tindak masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dan ini perlu dilakukan edukasi secara bersama, secara sistematis, secara terstruktur, untuk mengatasi apa yang disebut banjir informasi.

"Sehingga penting untuk mengedukasi masyarakat agar mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran," kata Staf ahli menteri bidang ekonomi, sosial dan budaya Kemenkominfo sejak Mei 2023.

Terlebih lagi, hasil riset menunjukkan 42 persen masyarakat Indonesia percaya disinformasi yang tersebar di internet.

Untuk mencegah itu, salah satu caranya adalah melakukan percepatan literasi digital serta menjaga ruang digital yang sehat dan aman.

Wujudkan Pemilukada damai, saatnya setop provokasi dan hoaks di media sosial yang dapat merugikan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News