Di Era Digital Provokasi dan Hoaks Jadi Tantangan Demokrasi

Di Era Digital Provokasi dan Hoaks Jadi Tantangan Demokrasi
Anggota Komisi I DPR RI Taufiq R Abdullah dalam webinar bertajuk "Wujudkan Pemilukada Damai: Stop Provokasi dan Hoax di Media Sosial". Foto: supplied

Ini menciptakan lingkungan di mana hoax dan provokasi dapat dengan mudah berkembang yang kemudian terjadi pembenaran," jelas Direktur Eksekutif Indonesia Teknologi Forum (ITF) ini.

Yusuf berpandangan, penyebaran konten hoaks secara masif ini terjadi berbarengan dengan adanya kemajuan teknologi internet dan komunikasi media sosial. Ditambah adanya fenomena post truth di mana batas antara kebenaran dan kebohongan menjadi tidak jelas.

"Di era post truth ini penyebaran konten hoax melalui internet atau media sosial umumnya ditujukan untuk menyerang kandidat dalam kontestasi pemilu," ujar Yusuf.

"Produk dan penyebaran konten hoaks dalam bentuk isu politik dan SARA eskalasinya meninggi ketika proses pelaksanaan Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2017," tambahnya.

Kenapa bisa terjadi? Karena kegaduhan di medsos ada kaitannya dengan kebebasan berpendapat pemilik akun. Lalu ada tuntutan untuk selalu eksis dan viral. Didukung pula oleh motif politik dan motif ekonomi dan lemahnya pemahaman tentang literasi digital atau memang mengabaikan, sehingga konten hoaks dan provokasi seolah mendapat jalan lebar untuk eksis.

"Media sosial dinilai mampu memanipulasi fakta sosial dari sesuatu yang nyata menjadi kabur. Sebaliknya juga mampu membawa fakta imajiner pada sesuatu yang tampak realistis," katanya.

"Mari ciptakan masyarakat digital yang berbudaya Indonesia: Masyarakat yang antihoaks dan toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila," kata Wijaya. (rhs/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Wujudkan Pemilukada damai, saatnya setop provokasi dan hoaks di media sosial yang dapat merugikan.


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News