Di Kampung Teten Masduki Sekolah Roboh, di Kalsel Murid Tinggal Satu, Full Day School?

Di Kampung Teten Masduki Sekolah Roboh, di Kalsel Murid Tinggal Satu, Full Day School?
MEMIRISKAN HATI - Salah satu kelas di SDN Lamida Atas yang hanya memiliki satu orang siswa. Dulu, sekolah ini mempunyai siswa ratusan, peralihan lahan ke perusahaan tambang membuat siswa satu persatu pergi. Foto: WAHYUDI/RADAR BANJARMASIN/JPNN.com

Kondisi yang dialami sekolahnya, menurut Halimah, sangat menjadi ironi di negara yang sudah hampir 71 tahun merdeka ini. ”Garut itu bukan daerah antah-berantah. Masih di Pulau Jawa. Juga dekat dengan Jakarta. Tetapi, nyatanya ada sekolah reyot dan akhirnya roboh,” cetus perempuan 53 tahun itu. 

Halimah mengaku belum lama menjabat kepala SDN 2 Dungsuwiru. Selama ini pihaknya sudah mengajukan permohonan dana rehabilitasi ruang kelas rusak. Tetapi, Pemerintah Kabupaten Garut tidak kunjung menyetujuinya. Alasannya, masih banyak sekolah lain yang membutuhkan anggaran rehab. 

Akibat ambruknya ruang kelas I, SDN Dunguswiru kini juga tidak memiliki ruang perpustakaan lagi. Sebab, ruang perpustakaan yang berlokasi persis di samping kelas yang roboh, untuk keselamatan siswa, dikosongkan sampai kondisinya memungkinkan untuk digunakan lagi. 

Begitu pula ruang belajar siswa kelas II, juga ditutup. Sebab, rangka bagian atas dan temboknya terlihat retak-retak cukup lebar. Ruang kelas II seperti ikut tertarik bangunan kelas I di sampingnya yang roboh.

Halimah menceritakan, ruang kelas yang ambruk itu sudah lama rusak. Bahkan sebenarnya sudah tidak layak pakai. Plafonnya jebol, lantai dan dindingnya retak-retak, diperparah dengan kondisi tanah yang labil saat musim hujan.

”Setelah ruang kelas I itu roboh dan ruang kelas II tidak bisa dipakai, kegiatan belajar-mengajar terpaksa kami gabung,” ujarnya. Siswa kelas yang satu saling adu punggung dengan siswa kelas lainnya. Siswa kelas I belajar bersama siswa kelas III, sedangkan siswa kelas II belajar di ruang kelas IV. 

Memang, model pembelajaran dua rombongan belajar (rombel) dalam satu kelas itu sangat tidak efektif. Misalnya, ketika kelas yang satu belajar bernyanyi, kelas satunya belajar matematika. Tentu konsentrasi anak-anak jadi terganggu.

Halimah sempat mengusulkan pembelajaran menggunakan dua sif, pagi dan siang. Namun, usul itu ditolak para orang tua siswa. Alasannya, hampir semua siswa bila sore harus belajar mengaji di TPA (taman pendidikan Alquran).

WACANA Mendikbud Muhadjir Effendy menerapkan program full day school tampaknya masih jauh panggang dari api. Jangankan siswa menuntut ilmu seharian,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News