Dikecil-kecilkan, Dibesar-besarkan
Senin, 26 April 2010 – 05:26 WIB
Belum lagi penggajian di beberapa kementerian, misalnya Kementerian Keuangan dan jajarannya seperti Ditjen Pajak dan Bea Cukai, alamak, bagaikan jauh panggang dari api dan tidak mungkin dinikmati rakyat kecil. Jadi, keteladanan apa?
Barangkali, maaf, itu sebabnya orang berlomba-lomba hendak menjadi pejabat pusat dan daerah. Ikut Pemilu dan Pilkada. Jika pun tak diimpi-impikan, tetapi begitu jadi pejabat, maka fasilitas itu datang dengan otomatis. Repotnya jika sudah berkuasa, hidup sudah enak tapi ternyata masih kurang enak juga. Apalagi kekuasaan pun ada di genggaman. Tak mustahil yang tadinya insan yang “putih bersih” lalu berubah “hitam merah.”
Tak pelak, power sangat menggoda. Banyak ujiannya, dan tak sedikit yang sudah terjerumus. Itu baru yang ketahuan. Yang belum tersibak, jangan-jangan berjibun jumlahnya. Tak hendak bermaksud menyebar-luaskan cara korupsi, tetapi konon sangat mudah. Katakanlah, dalam mengelola anggaran entah di pusat atau daerah, resepnya adalah bagaimana caranya membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkannya.
Para ahli anggaran menyebutnya dengan istilah mark-down (dikecil-kecilkan) khusus menyangkut pendapatan. Sebaliknya dilakukan mark-up (digelembungkan) pada sektor belanja. Mark down misalnya dalam penetapan pajak seseorang atau bea masuk sebuah barang impor. Sementara mark up dalam skala kecil saja, seorang pejabat naik pesawat dengan tariff lebih murah tapi yang diklaim dengan tariff lebih mahal.