Ditekan Menangis, 10 Bulan Siap ke Olimpiade

Ditekan Menangis, 10 Bulan Siap ke Olimpiade
BELAJAR - Prof Yohanes Surya, Direktur Surya Institute, didampingi Director for Transformational Development World Vision, Grace AD Hukom, mengajarkan metode khusus kepada siswa asal Papua, Merlin Kogoya (baju merah) dan Christian Murib. Foto: Titik Aadriyani//Jawa Pos.
Menurut dia, anak-anak Papua memiliki keunikan tersendiri. Pendiri Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) itu menyatakan, mereka tak sekadar diajari hingga pintar matematika dan IPA. Tapi, mereka juga belajar karakter budaya. "Mereka punya kekhususan. Kalau ditekan, mereka menangis. Ada juga yang melawan. Bergantung sukunya. Karena itu, kami memakai pendekatan budaya," jelasnya.

Sebelum membawa 27 siswa dari Papua tersebut, Yohanes mengorbitkan Septinus George Saa dari SMA Negeri 3 Wamena, Papua. Septinus berhasil meraih penghargaan "The First Step to Nobel Prize" pada 2003. Setahun kemudian, dia membimbing siswi dari Papua lainnya, Anneke Bowaire dari SMA Serui, yang berhasil merebut gelar "The First Step to Nobel Prize" pada 2004.

Alumnus Fisika dari College of William and Mary, Virginia, AS tersebut menuturkan, ke depan, Surya Institute berencana meminta semua kabupaten di Papua untuk memilih anak-anak yang dianggap paling "bodoh" di daerahnya. Bakal diminta satu anak dari tiap kabupaten. Mereka akan dididik di Surya Institute selama enam bulan.

Bukan hanya siswa, para guru di daerah tersebut juga akan dilatih. Dari tiap kabupaten akan diambil 10 guru. Bersama LSM World Vision, pihaknya akan menjaring guru serta siswa di daerah terpencil dan suku pedalaman untuk digembleng di lembaganya.

Tak ada anak Indonesia yang bodoh. Itulah yang diyakini pendiri Surya Institute, Prof Yohanes Surya PhD. Berbekal keyakinan tersebut, dia merekrut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News