Djarot: Pemimpin Tidak Permalukan Orang di Depan Umum
jpnn.com - JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat jadi pembicara di acara ’Apel Kader dan Seminar Kebangsaan’ yang digelar Univeristas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Kamis (28/4). Di hadapan puluhan mahasiswa, politikus PDI Perjuangan itu mengungkapkan lima sikap yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin besar di dunia.
Kendati tidak menyebut nama, namun disinyalir Djarot mengkritisi beberapa gaya kepemimpinan atasannya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dianggap kurang pas.
”Menjadi pemimpin tidak mudah. Karena kita harus memimpin dengan baik orang-orang yang dipimpin dan bijaksana. Kalian adalah calon-calon pemimpin bangsa,” ungkap Djarot membuka pidatonya di gedung Kampus Uhamka, Ciracas, Jakarta Timur, Kamis (28/4).
Sikap kepemimpinan pertama yang harus dimiliki adalah mampu turun ke bawah untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sehingga pemimpin dapat meyakinkan masyarakat melakukan sesuai kebijakan pemerintah dengan sukarela.
”Saya waktu di Blitar enak. Semua warga saya kenal. Waktu mau bebasin lahan untuk bikin jalan tembus dan harus menggusur rumah warga. Saya datang naik sepeda ngomong ke warga bahwa rumah mereka akan terkena proyek jalan tembus. Kami akan berikan ganti rugi. Warga pun mau,” ujar mantan Walikota Blitar dua periode itu.
Kedua, lanjutnya, pemimpin harus tegas tetapi tidak perlu dengan suara keras. Ketiga, tidak mempermalukan orang yang dipimpinnya di depan umum atau publik.
Menurut Djarot, seorang pemimpin yang baik akan memilih memarahi anak buahnya di dalam ruangan daripada mempermalukan orang di depan publik. ”Saya punya budaya jangan mempermalukan orang di depan orang banyak. Itu bukan budaya kita. Mungkin di depan orang dia bilang iya, iya. Tapi di dalam hati mungkin saja dia bisa tertekan. Saya juga kalau dihajar di depan umum, saya juga marah dong,” papar juga wakil kepala daerah asal PDIP tersebut.
Sikap keempat, seorang pemimpin harus mampu menyentuh hati orang yang dipimpinnya. Ketika anak buahnya melakukan kesalahan, maka pemimpin itu bisa mampu berbicara dari hati ke hati sehingga anak buahnya mau berubah. ”Kalau saya, ketika anak buah saya melakukan kesalahan, maka saya panggil ke dalam ruangan. Saya kasih dua pilihan, dipecat atau dinonjobkan untuk berubah. Jika dia mau merubah diri, maka dia akan diberikan kepercayaan memegang jabatan lagi. Akhirnya dia berubah menjadi lebih baik,” ungkapnya.
- Gerakan Guna Ulang Jakarta, Edukasi Mengurangi Pemakaian Plastik Sekali Pakai
- Fasilitas Makin Lengkap, Triboon Hub Tambah 2 Resto Baru di Jakarta
- Durasi Pemadaman Lampu Program Earth Hour Terlalu Singkat
- Di Tengah Sosialisasi Tupoksi kepada Warga, MKD DPR RI Singgung Pelat Nomor Khusus
- Tjahjo Kumolo Meninggal Dunia, Warga Bekasi Diminta Kibarkan Bendera Setengah Tiang
- Anies Bangun Kampung Gembira Gembrong dengan Dana Rp 7,8 Miliar dari Infak Salat Id di JIS