Dokter Edi S. Tehuteru; Terapkan Hospital-Schooling untuk Penuhi Hak Pasien Kanker Anak
Tergugah saat Hadi Minta Buku Pelajaran dari Pontianak
Sepulang dari Belanda pada 2006, Edi memprakarsai metode pendekatan psikososial tersebut terhadap para pasiennya di RS Kanker ''Dharmais''. Jalannya memang tidak mudah. Apalagi pada era itu belum ada fasilitas pengobatan seperti BPJS atau jamkesmas yang memberikan kemudahan serta keringanan bagi pasien kurang mampu. Meski begitu, Edi mendapat momentum yang membulatkan tekadnya untuk mengaplikasikan gagasan tersebut.
Pada 2006, ada pasien anak asal Pontianak bernama Hadi. Dia masih duduk di kelas 5 SD. Di tengah pengobatan leukemia yang dijalani, Hadi tetap bersemangat untuk belajar. Dia bahkan rindu bersekolah. Sampai-sampai, dia meminta dibawakan buku-buku pelajarannya dari Pontianak.
''Saya lalu ingat pernah belajar tentang hospital-schooling di Belanda. Dari situlah tercetus ide untuk menerapkannya di sini,'' ucap ayah empat anak tersebut.
Awalnya, Edi dibantu dua guru TK untuk mengajar pasien anak. Dia juga menggandeng rekannya yang seorang psikolog, Erwin Fauzi, untuk mengembangkan metode hospital-schooling, menggantikan proses belajar di sekolah selama pengobatan di rumah sakit. Erwin-lah yang diminta menyusun silabus pengajaran serta metode pendampingan secara psikologis.
Untuk mendapat relawan tenaga pengajar dan lembaga yang mau men-support secara finansial, Edi lalu mendirikan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (YPKAI). Menurut dokter berkacamata tersebut, sejumlah negara maju melakukan program yang sama untuk memenuhi hak pasien anak. Jepang, misalnya. Di sana, ada guru yang ditempatkan di rumah sakit untuk mengajar. Bila sewaktu-waktu dibutuhkan, guru itu akan menjalankan tugasnya mengajar pasien anak tersebut.
''Tapi, hal itu masih sulit di sini karena kita tahu gaji guru berapa. Karena itu, di sini masih mengandalkan relawan,'' ucapnya.
Edi sudah mengajukan konsep tersebut ke Kemendiknas. Namun, kendalanya, di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur hak belajar anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. ''Padahal, seharusnya jangan sampai anak tertinggal pelajaran terlalu lama,'' tuturnya.
Lain lagi di Singapura. Di sana sudah ada sekolah khusus untuk pasien kanker anak-anak. Ketika si pasien sudah menyelesaikan pengobatan dan kembali bersekolah, dia akan lebih terlindungi. Sebab, anak-anak dengan kanker mempunyai daya tahan tubuh yang rendah.
Masa pengobatan kanker yang panjang sering menghambat pasien anak untuk mendapatkan hak belajar. Hal itu menjadi perhatian dr Edi Setiawan Tehuteru
- Gerakan Guna Ulang Jakarta, Edukasi Mengurangi Pemakaian Plastik Sekali Pakai
- Fasilitas Makin Lengkap, Triboon Hub Tambah 2 Resto Baru di Jakarta
- Durasi Pemadaman Lampu Program Earth Hour Terlalu Singkat
- Di Tengah Sosialisasi Tupoksi kepada Warga, MKD DPR RI Singgung Pelat Nomor Khusus
- Tjahjo Kumolo Meninggal Dunia, Warga Bekasi Diminta Kibarkan Bendera Setengah Tiang
- Anies Bangun Kampung Gembira Gembrong dengan Dana Rp 7,8 Miliar dari Infak Salat Id di JIS