DPR Gulirkan Wacana Makzulkan SBY

Perppu MK Dinilai Inkonstitusional

DPR Gulirkan Wacana Makzulkan SBY
DPR Gulirkan Wacana Makzulkan SBY

jpnn.com - JAKARTA - Wacana impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden SBY kembali muncul menyusul rencana Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang MK. Selain tidak ada urgensinya, sejumlah kalangan di parlemen menganggap langkah presiden itu inkonstitusional.

Anggota Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, penerbitan Perppu MK bisa menimbulkan kekacauan politik. Tidak seharusnya MK yang keberadaannya ditetapkan langsung oleh UUD diatur melalui Perppu. "Tidak bisa dihindari, bahwa nanti (DPR) akan melakukan impeachment, karena Presiden melanggar konstitusi," ujarnya di komplek parlemen Jakarta, Rabu (16/10).
    
Meskipun Perppu bisa langsung dilaksanakan, selama masa sidang DPR dalam proses mengambil keputusan menolak atau menerima Perppu tersebut, hampir dipastikan akan terjadi guncangan politik. Kekacauan politik itu lah yang nantinya sangat mungkin akan berakhir dengan upaya impeachment terhadap Presiden.
    
Menurut wakil bendahara umum DPP Partai Golkar itu, perppu sepatutunya bersifat mendesak. Dan, baru diterbitkan jika DPR dan Pemerintah dalam keadaan yang terdesak pula. Sedangkan saat ini, dia menilai, tidak ada hal yang membuat pemerintah terdesak sehingga harus mengeluarkan Perppu soal MK. Karenanya, penerbitan Perppu tersebut dianggap belum perlu.
    
Terpisah, indikasi penolakan rencana dikeluarkannya perppu tentang MK juga telah disampaikan PPP. Melalui Wakil Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin, partai berlambang kabah itu menilai revisi UU MK merupakan pilihan paling ideal atas respon positif pasca kasus tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar.
 
"Sifat Perppu dalam merumuskan norma itu bersifat sepihak, hanya pemerintah saja, dalam hal ini presiden," tegas Lukman dalam konferensi pers mewakili fraksinya di komplek parlemen kemarin.
       
Dia menambahkan, dikeluarkannya perppu bukan langkah ideal karena mengenyampingkan DPR. Bahwa, DPR hanya bisa menolak atau menyetujui dan tidak punya kewenangan membahas Perppu. "Juga pada akhirnya, perppu tidak pula mengakomodir suara-suara yang berkembang di masyarakat, baik dari akademisi maupun lainnya," imbuhnya.
    
Apakah ini artinya PPP akan menolak Perppu? Lukman memilih menjawab diplomatis. "PPP tidak mungkin menolak Perppu, karena barangnya kan belum ada," ucapnya.
    
Dia juga membantah kalau pandangan fraksinya itu merupakan pilihan posisi yang berseberangan dengan sekretariat gabungan (setgab) koalisi pemerintahan. "Tidak ada hubungannya dengan setgab," tegas wakil ketua MPR itu.
       
Justru dengan usulan revisi tersebut, kata dia, PPP menghindarkan upaya munculnya hak menyatakan pendapat (HMP) terhadap presiden hanya karena nekat tetap menerbitkan perppu. Penggunaan hak tersebut ujung-ujungnya adalah pemakzulan terhadap presiden. "Karena dari wacana yang berkembang, penerbitan perppu ini bisa munculkan HMP," ujar Lukman.
    
Hal senada juga disampaikan anggota Fraksi PPP Ahmad Yani. Menurut dia, sah-sah saja Presiden mengeluarkan Perppu. Namun, jika ditolak oleh DPR, maka Perppu itu tetap tidak akan bisa diberlakukan. Terlebih, urgensi Perppu MK juga sudah lewat.
    
Menurut anggota Komisi III asal PPP itu, ketimbang membuat Perppu, lebih baik pemerintah menginisiasi revisi UU atau yang lazim disebut Legislative Review. "PPP akan ambil insiasi itu. hari ini fraksi akan menyampaikan pernyataan," terangnya. Revisi tersebut bisa dilakukan dengan cepat jika ada kesepahaman antara Pemerintah dan DPR.
    
Pihaknya akan mengusulkan dua hal, yakni pengawasan terhadap MK dan pemilihan Hakim Konstitusi. Pihaknya menginginkan pengawasan yang permanen, bukan ad hoc seperti Majelis Kehormatan MK yang ada saat ini. anggotanya pun terdiri dari unsur tokoh masyarakat dan KY.
    
Kemudian, mengubah sistem rekrutmen hakim MK dengan cara masing-masing pihak dari Pemerintah, DPR, dan MA membuat panitia seleksi. Hasil seleksi tersebut lalu diserahkan ke DPR untuk disetujui.
    
Kemudian, dalam persyaratan Hakim MK, sebaiknya mengutamakan negarawan. "Negarawan itu salah satunya orang-orang yang sudah tidak lagi mengejar jabatan, Tidak ingin jadi capres, atau yang lain," lanjutnya. Tolok ukurnya tentu saja dengan umur.
    
Usia hakim MK sebaikn ya dibatasi antara 60 sampai 70 tahun. Di bawah itu tidak bisa, karena masih berpeluang besar mengejar dunia. Karena itu, pihaknya pernah menyarankan agar masa tugas hakim MK cukup satu periode yang panjang selama 10 tahun. Memulai karir di usia 60 tahun dan pensiun di usia 70 tahun. (byu/dyn)


Berita Selanjutnya:
MK Tidak Butuh Perppu

JAKARTA - Wacana impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden SBY kembali muncul menyusul rencana Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News