Drama Remaja Dalam Gua
Oleh Dahlan Iskan
Sang asisten pelatih menulis agak panjang: berjanji akan terus bersama anak asuhnya, memperhatikan mereka dan yang utama meminta maaf pada semua orang tua mereka.
Semua itu dibawa ke luar gua. Kegembiraan lantas melanda seluruh negara. Hujat dan caci berganti puja dan puji.
Publik sepakat: mental anak-anak mereka kuat berkat asisten pelatih itu. Asisten itulah yang terus mengajarkan optimisme pada anak asuhnya. Mengajarkan sabar. Mengajarkan doa.
Mengajarkan tenggang rasa. Membagi makanan yang ada sehemat-hematnya. Secara merata. Agar tidak ada yang rebutan makanan. Atau yang kuat dapat makanan lebih banyak.
Makanan itu sangat terbatas. Hanya yang dibeli untuk mengulangtahuni teman mereka: Pheeraphat. Sebelum masuk gua sang asisten membeli makanan kecil untuk ulang tahun itu.
Asisten pelatih ini memang bukan pemuda biasa. Ia ditinggal mati ayahnya saat umurnya baru 10 tahun. Lalu memutuskan untuk mengabdi di jalan Tuhan: sekolah biksu Buddha. Lalu tumbuh menjadi biksu remaja.
Tapi ibunya sakit keras. Ia harus merawat ibunya. Ia pamit meninggalkan pagoda. Untuk sembahyang yang sebenarnya: melayani ibunya. Sampai ibunya meninggal dunia.
Lalu jadi pembina remaja di kampungnya. Publik percaya di dalam gua itu sang asisten terus menguatkan anak-anaknya.