Druze
Oleh Dahlan Iskan
Ayah saya, yang makamnya juga di komplek makam kakek buyut itu, berpesan: nisannya sederhana saja. Sebagai perwujudan tawadluk pada guru tarekatnya.
Cucu kakek buyut itu: Imam Mursyid Muttaqin. Yang meninggal dibunuh PKI. Dalam peristiwa ‘Madiun Affair’ 1948.
Berada di dalam cungkup ulama Druze itu rasanya seperti di makam Kiai Buntet Cirebon. Banyak Alquran di situ. Juga banyak sajadah salat. Karpet terhampar di sekitar nisan.
Saya berdoa sejenak. Untuk yang di makam itu. Apa pun agamanya. Entah ia Islam atau bukan Islam.
Sopir saya itu, yang kemudian seperti teman itu, semula takut. Ketika saya minta diantar ke pusatnya Druze.
Tapi uang mengalahkan rasa takutnya. Apalagi ketika saya minta pergi ke Moukhtara. Ke istana Walid Jumblatt yang jauh di gunung itu. Harus mengemudi jauh ke arah selatan.
Menyusuri pantai selama satu jam. Lalu belok ke gunung. Terus ke gunung berikutnya. Ke gunung berikutnya lagi.
Meliuk-liuk. Menanjak. Selama satu jam. Seperti ke kawasan museum penyair Khalil Gibran.