Druze
Oleh Dahlan Iskan
Memang kami tidak diizinkan masuk. Banyak tentara yang menjaga. Tapi saya santai saja.
Dataran tinggi komplek istana ini indah di mata. Lima jam di situ pun akan saya jalani. Menunggu redanya ketegangan. Di dalam hati para penjaga itu.
Saya pun menyapa satu per satu orang di situ. Dengan ramah.
Saya sapa juga laki-laki tua itu. Yang berpakaian khas orang Druze: celana hitam yang kombor di selangkangannya. Dengan penutup kepala putih. Seperti topi haji. Tapi kecil. Seperti Yahudi.
Luar biasa. Druze tua itu baik sekali. Ramah sekali. Saya justru diajaknya masuk kantin. Yang menjadi bagian istana. Sopir saya ikut. Sambil takut-takut.
Padahal saya justru disuruh makan. Alhamdulillah. Istrinya yang menyajikan makanan: nasi hitam berminyak.
Entah makanan apa itu. Saya kuatkan tenggorokan saya. Untuk bertekad memakannya. Apa pun rasanya nanti.
Saya robek juga roti tipis yang lebar itu. Betapa pun liatnya.